![]() |
Foto/ILUSTRASI |
Membangun peradaban tidak cukup hanya dengan kecerdasan intelektual; kita juga memerlukan bimbingan moral. Dalam hal ini, sains dan agama memainkan peran saling melengkapi. Sains berfungsi sebagai alat untuk memahami alam dan menyelesaikan persoalan kehidupan. Agama, di sisi lain, memberikan arah, makna, dan nilai atas setiap capaian tersebut. Keduanya laksana dua sayap: hanya ketika keduanya bergerak serempak, peradaban dapat mengudara.
Sayangnya, di era modern, hubungan antara sains dan agama kerap dipersepsikan saling bertentangan. Sains diasosiasikan dengan kemajuan dan rasionalitas, sedangkan agama dicitrakan sebagai konservatif dan tidak relevan. Persepsi ini tentu tidak mencerminkan relasi hakiki antara keduanya. Pemisahan ini justru berisiko menghambat lahirnya peradaban yang seimbang—berakar pada logika dan nilai kemanusiaan sekaligus.
Titik Temu antara Rasio dan Iman
Sains dan agama sesungguhnya menjawab pertanyaan yang berbeda, tetapi saling melengkapi. Sains menelusuri “bagaimana”: bagaimana tubuh menyembuhkan luka, bagaimana energi bergerak, bagaimana alam bekerja. Agama menjawab “untuk apa”: untuk apa kehidupan dijalani, apa makna penderitaan, dan ke mana tujuan akhir manusia.
Jika hanya berpegang pada sains, kita bisa menjadi sangat pintar tetapi kehilangan arah makna. Sebaliknya, jika hanya berpegang pada agama tanpa memahami realitas objektif, kita bisa terjebak dalam kekakuan berpikir. Karena itu, pendekatan integratif menjadi sangat penting. Bukan untuk menyatukan keduanya secara paksa, melainkan menjembatani agar keduanya saling menguatkan.
Seperti dijelaskan oleh Iqbal (2019), integrasi sains dan agama menjadikan sains lebih bermoral dan agama lebih kontekstual dengan zaman.integrasi sains dan agama akan membuat sains lebih bermoral dan agama lebih relevan dengan konteks zaman.
Tradisi Islam: Ilmu sebagai Bentuk Ibadah
Dalam sejarah keilmuan Islam, kita mengenal banyak ilmuwan yang sekaligus tokoh spiritual, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali. Mereka tidak memisahkan ilmu dari iman. Mempelajari alam semesta bagi mereka adalah bagian dari ibadah. Bahkan ayat pertama yang diturunkan dalam Al-Qur’an adalah perintah untuk membaca "Iqra’".
Aktivitas berpikir dan membaca dalam Islam bukan sekadar upaya intelektual, melainkan juga spiritual. Alam adalah ayat Tuhan yang terbentang. Melalui sains kita memahaminya, dan melalui agama kita menafsirkannya.
Ketika Sains Kehilangan Arah
Di era teknologi ini, kemajuan sains begitu luar biasa. Kita mengenal kecerdasan buatan, rekayasa genetika, hingga penjelajahan luar angkasa. Namun, semua pencapaian ini juga membawa tantangan serius: kerusakan lingkungan, senjata canggih, serta krisis makna dalam hidup.
Tanpa nilai yang membimbing, sains bisa menjadi alat yang merugikan. Sutrisno (2013) mengingatkan bahwa perkembangan ilmu tanpa fondasi spiritual dapat menimbulkan lebih banyak mudarat. Agama, dalam konteks ini, hadir untuk mengarahkan bahwa ilmu dan teknologi harus tetap berorientasi pada nilai kemanusiaan.
Beberapa kampus Islam di Indonesia sudah mulai merespons tantangan ini. UIN K.H. Abdurrahman Wahid (UIN Gus Dur) Pekalongan, misalnya, membangun model pembelajaran yang memadukan agama dan sains secara konseptual. Pendekatan bayani, burhani, dan irfani menjadi pilar dalam membentuk insan akademik yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter.
Society 5.0: Teknologi Perlu Etika
Kita memasuki era Society 5.0—masyarakat yang sangat terintegrasi dengan teknologi. Namun, pertanyaannya: apakah semua itu membuat kita lebih manusiawi, atau justru sebaliknya?
Teknologi menjawab pertanyaan “bagaimana”, tetapi hanya iman dan etika yang bisa menjawab “apakah ini benar dan adil?”. Di sinilah pentingnya agama sebagai penyeimbang. Afifuddin (2015) menegaskan bahwa pendidikan Islam harus melahirkan insan kamil—manusia paripurna dalam akal, spiritualitas, dan kepedulian sosial.
Dalam Society 5.0, manusia dan mesin bekerja berdampingan, bahkan keputusan-keputusan penting bisa dibantu oleh kecerdasan buatan. Jika tanpa pertimbangan etika, algoritma bisa memperkuat ketimpangan sosial atau melanggar privasi individu. Oleh karena itu, penting bagi para ilmuwan dan pemangku kebijakan untuk memiliki sensitivitas moral dalam merancang dan mengimplementasikan teknologi. Di sinilah agama, sebagai sumber nilai universal, berperan memastikan bahwa kemajuan teknologi tetap berpihak pada kemanusiaan.
Penutup: Menguatkan Kolaborasi Akal dan Nurani
Sains memberi kita kemampuan untuk melihat bintang, mengurai genetika, dan mencipta teknologi. Agama memberi kita hikmah untuk bertanya: untuk apa semua itu? Ketika sains dan agama berjalan bersama, manusia tidak hanya menjadi makhluk yang cerdas, tetapi juga bijaksana. Sejarah telah membuktikan bahwa peradaban besar lahir dari harmonisasi akal dan iman. Kini, saatnya kita mengembalikan kolaborasi itu—bukan untuk mendominasi satu sama lain, tetapi untuk membangun masa depan yang manusiawi, adil, dan bermakna
Di tengah tantangan global seperti krisis iklim, disrupsi teknologi, dan degradasi moral, integrasi sains dan agama bukan lagi sekadar idealisme, tetapi kebutuhan mendesak. Dunia membutuhkan generasi yang tidak hanya menguasai pengetahuan, tetapi juga memiliki kebijaksanaan untuk menggunakannya demi kebaikan bersama. Maka pertanyaannya: apakah kita siap menjadi bagian dari peradaban baru yang terbang dengan dua sayap akal dan nurani?
Penulis :
Fidya Desi Aryani, mahasiswi Prodi Tadris Matematika Universitas K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, email : fidyadesiaryani@gmail.com