Notification

×

Iklan

Iklan

Ujian Nasional: Perlukah Dihidupkan Kembali?

Kamis, 22 Mei 2025 | Mei 22, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-22T08:39:39Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Wafiq Khalifatul Wardah (Foto/IST)


Dalam beberapa bulan terakhir, kembalinya Ujian Nasional (UN) telah menjadi topik pembicaraan hangat. Setelah sempat dihapus oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada tahun 2020 dan digantikan oleh Asesmen Nasional, kini muncul suara-suara yang menginginkan UN kembali berfungsi sebagai standar kualitas pendidikan di Indonesia. Wacana ini memunculkan pro dan kontra dari berbagai kalangan, mulai dari praktisi pendidikan, akademisi, hingga orang tua siswa. Di tengah perkembangan zaman dan tantangan sistem pendidikan modern, pertanyaannya adalah: apakah Ujian Nasional masih relevan untuk diterapkan di Indonesia?

 

Ujian Nasional merupakan sistem evaluasi pendidikan yang telah digunakan sejak lama. Selama bertahun-tahun, UN telah menjadi penentu kelulusan siswa sekaligus standar kompetensi secara nasional. Namun, UN juga telah lama menjadi subjek kritik karena dianggap menimbulkan tekanan psikologis yang berlebihan kepada siswa, tidak mencerminkan kemampuan keseluruhan, dan memperlebar ketimpangan pendidikan antar wilayah. Karena kritik-kritik itulah, pada masa kepemimpinan Menteri Nadiem Makarim, UN resmi dihapus dan digantikan oleh Asesmen Nasional yang berfokus pada survei lingkungan belajar, dan asesmen kompetensi minimum.

 

Namun, perubahan sistem ini rupanya belum sepenuhnya diterima oleh semua pihak. Banyak yang menilai bahwa Asesmen Nasional belum mampu menggantikan fungsi utama UN sebagai alat evaluasi nasional yang objektif dan terukur. Tidak sedikit guru dan kepala sekolah yang merasa kebingungan memahami konsep AN, terutama tentang bagaimana menerapkan hasilnya. Selain itu, karena AN tidak menentukan kelulusan, siswa pun menjadi kurang termotivasi dalam mengikutinya. Hal ini menyebabkan sebagian kalangan meragukan efektivitas AN sebagai alat pengukuran mutu pendidikan.

 

Di sisi lain, pihak yang menginginkan UN kembali diberlakukan umumnya berpendapat bahwa pendidikan tanpa standar evaluasi nasional menjadi kurang terarah. Mereka berpendapat bahwa UN penting untuk memastikan adanya kesetaraan dalam capaian Pendidikan Indonesia. Tanpa standar nasional yang seragam, bisa jadi terdapat perbedaan kualitas pendidikan yang sangat tajam antar wilayah, yang justru memperbesar ketimpangan. Bagi mereka, UN bukanlah sekadar ujian, tetapi juga alat pemetaan yang berguna untuk pengambilan kebijakan pendidikan di tingkat nasional.

 

Namun demikian, kita juga harus menyadari adanya kelemahan mendasar dari sistem UN yang lama. Dalam kenyataannya, UN sering kali justru menimbulkan tekanan berlebih pada siswa. Banyak siswa merasa bahwa masa depan mereka hanya ditentukan oleh hasil ujian beberapa hari saja. Hal ini berdampak pada meningkatnya kecemasan, stres, bahkan munculnya praktik-praktik yang tidak sehat, seperti kecurangan atau belajar secara instan hanya demi mengejar nilai. Akibatnya, pembelajaran tidak lagi berorientasi pada pemahaman dan karakter, melainkan sekadar pada capaian nilai.

 

Kritik lainnya datang dari realitas ketimpangan antar daerah. UN sering kali mengabaikan kualitas pengajar, fasilitas, dan sumber daya pendidikan di berbagai daerah. Sekolah-sekolah di daerah terpencil yang minim akses dan fasilitas dipaksa mengikuti standar yang sama dengan sekolah-sekolah unggulan di kota besar. Akibatnya, hasil UN cenderung mencerminkan ketimpangan sosial-ekonomi daripada murni mencerminkan kualitas belajar siswa.

 

Karena itu, alih-alih menghidupkan kembali UN dalam bentuk lama yang sudah terbukti banyak kendala, sebaiknya pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan duduk bersama untuk merumuskan sistem evaluasi yang lebih adil, humanis, dan relevan dengan kebutuhan zaman. Kita membutuhkan sistem yang mampu mengukur capaian belajar siswa secara komprehensif, bukan sekadar kemampuan menjawab soal pilihan ganda.

 

Salah satu solusi yang layak dipertimbangkan adalah pengembangan sistem evaluasi nasional yang menggabungkan berbagai pendekatan: ujian berbasis kompetensi, proyek pembelajaran, penilaian portofolio, hingga penilaian karakter. Evaluasi seperti ini dapat dirancang agar tetap terstandarisasi di tingkat nasional, tetapi pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi lokal masing-masing sekolah. Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya mengukur pengetahuan siswa, tetapi juga mengevaluasi keterampilan berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan nilai-nilai sosial yang melekat dalam kehidupan sehari-hari.

 

Di sisi lain, jika pemerintah tetap ingin menghadirkan kembali UN, maka pelaksanaannya harus benar-benar diperbaharui dan berorientasi pada pengembangan siswa, bukan sekadar penilaian akhir. Selain itu, hasil ujian tidak seharusnya menjadi penentu tunggal kelulusan, melainkan hanya salah satu bagian dari proses evaluasi yang lebih luas.

Yang paling penting, apapun bentuk evaluasinya, sistem pendidikan kita harus kembali menempatkan siswa sebagai subjek yang utuh, bukan sekadar obyek penilaian. Pendidikan bukanlah perlombaan menuju angka tinggi, tetapi proses membentuk siswa yang berpikir, beretika, dan mampu berkontribusi dalam masyarakat. Jika ujian atau asesmen justru menjauhkan kita dari tujuan itu, maka sistem tersebut patut dipertanyakan.

 

Wacana kembalinya UN seharusnya menjadi kesempatan untuk berpikir Bersama tentang apakah kita sudah menilai dan mengembangka potensi siswa dengan benar selama ini. Jika belum, maka menghidupkan kembali UN hanya akan mengulang kesalahan masa lalu. Pendidikan Indonesia saat ini tidak hanya membutuhkan alat ukur, tetapi juga arah dan visi yang jelas. Visi itu adalah membangun sistem pendidikan yang merdeka belajar, adil bagi semua, dan menyiapkan generasi yang siap menghadapi dunia yang terus berubah. Dalam konteks itu, sistem evaluasi hanyalah alat bantu. Yang lebih penting adalah keberanian kita menata ulang paradigma pendidikan secara menyeluruh.

 

Maka dari itu, sebelum buru-buru menghidupkan kembali Ujian Nasional, mari kita tanyakan terlebih dahulu: apakah kita ingin melahirkan generasi pembelajar sejati, atau hanya lulusan yang pandai menghafal tetapi miskin daya pikir? Jawaban atas pertanyaan itulah yang akan menentukan arah kebijakan pendidikan kita ke depan.[]

 

Penulis :

Wafiq Khalifatul Wardah, Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

×
Berita Terbaru Update