Foto/Ilustrasi
Apa Penyebabnya?
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai penelitian
menunjukkan bahwa Gen Z generasi yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga
awal 2010-an mengalami tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan generasi
sebelumnya seperti Milenial, Gen X, dan Baby Boomer. Fenomena ini menjadi
sorotan penting dalam dunia kesehatan mental dan sosial karena mencerminkan adanya
perubahan mendasar dalam cara generasi muda menghadapi tekanan hidup,
pekerjaan, dan ekspektasi sosial.
Salah satu penyebab utama meningkatnya stres di kalangan
Gen Z adalah paparan terhadap media sosial. Tidak seperti generasi sebelumnya,
Gen Z tumbuh dalam era digital yang penuh dengan informasi instan, ekspektasi
sosial yang tidak realistis, dan budaya perbandingan yang terus-menerus. Media
sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter sering kali menjadi sumber
tekanan tersendiri. Mereka tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga
menjadi panggung di mana identitas diri dipertontonkan dan dinilai. Hal ini
menciptakan beban psikologis yang besar, terutama bagi remaja dan dewasa muda
yang masih mencari jati diri.
Selain faktor sosial, tantangan ekonomi juga menjadi
pemicu stres. Gen Z tumbuh dalam ketidakpastian ekonomi global mulai dari
krisis keuangan, pandemi COVID-19, hingga ancaman resesi. Mereka menyaksikan
bagaimana lulusan perguruan tinggi kesulitan mendapatkan pekerjaan tetap, harga
rumah yang tak terjangkau, serta beban utang pendidikan yang menumpuk. Semua
ini menciptakan rasa cemas terhadap masa depan yang tidak jelas. Banyak dari
mereka merasa bahwa harapan untuk mencapai "kehidupan mapan" seperti
generasi orang tua mereka kini menjadi sesuatu yang semakin sulit diraih.
Menariknya, meskipun Gen Z lebih rentan terhadap stres,
mereka juga lebih terbuka dalam membicarakan isu kesehatan mental. Berbeda
dengan generasi sebelumnya yang cenderung menghindari topik ini, Gen Z justru
menjadikan kesehatan mental sebagai bagian penting dari kehidupan. Mereka lebih
mungkin untuk mencari bantuan profesional, atau berbicara terbuka tentang
perasaan mereka di media sosial. Ini adalah tanda positif bahwa kesadaran
tentang pentingnya kesehatan mental meningkat, meskipun tingkat tekanan yang
mereka hadapi juga bertambah.
Tekanan akademik juga menjadi beban besar bagi Gen Z.
Persaingan masuk universitas yang semakin ketat, tuntutan nilai yang tinggi,
serta ekspektasi dari orang tua dan lingkungan sosial membuat mereka merasa
harus selalu tampil sempurna.
Hal ini diperburuk dengan sistem pendidikan yang
seringkali menekankan prestasi akademik di atas kesejahteraan emosional siswa.
Tidak sedikit siswa yang mengalami burnout sejak usia belia karena merasa terjebak
dalam perlombaan yang tak ada habisnya.
Gen Z juga hidup dalam era perubahan sosial yang sangat
cepat. Isu-isu seperti perubahan iklim, keadilan sosial, kesetaraan gender, dan
hak minoritas menjadi bagian dari diskusi sehari-hari mereka. Keterlibatan dalam
isu-isu ini menunjukkan tingginya tingkat empati sosial, tetapi juga membawa
beban emosional tambahan. Mereka tidak hanya memikirkan masalah pribadi, tetapi
juga memikul kekhawatiran akan nasib dunia secara kolektif.
Tingkat stres yang tinggi di kalangan Gen Z bukanlah
semata-mata karena mereka “lebih lemah” dibandingkan generasi sebelumnya.
Justru sebaliknya, mereka menghadapi dunia yang jauh lebih kompleks dan penuh
tekanan dari berbagai sisi. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak keluarga,
sekolah, tempat kerja, dan pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang
mendukung kesehatan mental generasi ini. Meningkatkan literasi emosional,
menyediakan akses terhadap layanan psikologis, dan mengurangi stigma terhadap
masalah mental adalah langkah awal yang penting.
Hanya dengan dukungan yang menyeluruh, Gen Z bisa tumbuh
menjadi generasi yang sehat secara mental dan mampu menghadapi tantangan zaman
dengan ketangguhan.[]
Penulis :
Muhamad Herdian, mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Pamulang