![]() |
Foto/ILUSTRASI |
Dalam beberapa tahun belakangan ini banyak sekali influencer yang terjun kedunia perpolitikan dan itu tidak sedikit. fenomena ini tidak hanya terjadi di indonesia saja tapi juga dibeberapa negara lainnya seperti Amerika Serikat, tapi apakah peran seorang influencer bisa menjadi suatu hal yang bermanfaat atau malah berpotensi merusak integritas dunia politik?
Salah satu alasan utama mengapa selebriti begitu berhasil menarik perhatian dalam dunia politik adalah pengaruh besar yang mereka miliki. Seperti pengikut yang bisa mecapai jutaan pengikut dan hal tersebut dapat membantu mereka untuk lebih mudah mempengaruhi opini publik dalam waktu yang lumayan singkat.
Namun banyak juga yang bertanya-tanya tentang apakah popularitas cukup untuk menjamin keberhasilan dalam dunia politik? Jawabannya mungkin saja tidak, karena popularitas seorang selebriti tidak selalu dibarengi dengan pemahaman mendalam tentang kebijakan publik, birokrasi, atau cara kerja sistem pemerintahan.
Karena seseorang harus memiliki kemampuan, yaitu merancang kebijakan, bernegosiasi dengan berbagai pihak, dan mengambil keputusan yang menguntungkan rakyat. kita bisa ambil contoh dari Ahmad Dhani, dia seorang musisi dan pentolan Dewa 19 ini terjun ke politik lewat Partai Gerindra. ia sempat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari Dapil Jawa Timur I (Surabaya dan Sidoarjo) pada Pemilu 2019.
Namun, meski sangat aktif secara politik, Dhani gagal meraih kursi di DPR. Saat kampanye, ia juga tersandung kasus hukum dan sempat dipenjara, yang ikut menghambat karier politiknya. Di satu sisi, keterlibatan selebriti dapat membawa angin segar dalam politik yang sering kali dianggap eksklusif dan elit. Mereka memiliki kemampuan besar untuk berkomunikasi, daya tarik yang kuat serta memungkinkan mereka untuk membukakan akses bagi orang-orang yang biasanya tidak peduli dengan politik, seperti kaum muda.
Dengan cara ini, influencer politik bisa menjadi pontianak antara rakyat dan lembaga negara. Namun, di sisi lain, ada banyak risiko yang harus diatasi ketika popularitas merupakan satu-satunya kekuatan kompetitif dalam kontestasi politik. Politik bukanlah sosok, tetapi tempat pengambilan keputusan yang rumit dan berdampak massal. Ketika politisi bermain di panggung sinetron dan pola pikir semudah menjual jajanan pinggir jalan, apa yang dihasilkan bukanlah politisi yang layak, tetapi populisme kekosongan. Semua hitung-hitungan ini lebih berbahaya ketika partai politik itu sendiri sama-sama mengorbankan elektabilitas untuk kapasitas.
Alih-alih melatih kader ideologis, partai sering bersaing untuk menegaskan popularitas dan merekrut selebriti politik. Ini, di tengah ketidakpastian politik Indonesia, kemudian menempatkan seluruh politik sebagai arena hiburan. Inilah yang dalam jangka panjang merusak demokrasi dan memperkuat kebudayaan politik transaksional. publik; politik harus menjadi jalan terbaik.
Kita harus lebih kritis terhadap influencer politik, melengkapi poin-poin dari hasil tempatan penting penting, dan kenaikan kuantiti pengikut di media sosial tidak lagi setara dengan kredibilitas. Namun tentu saja, karakteristik negatif para peniru penggemar ini tidak dapat digeneralisasi untuk semua selebriti yang memperjuangkan posisi politik.
Yang sebenarnya serius belajar, membentuk tim ahli, turun ke lapangan, membuat program kerja. Jadi, selebriti juga bisa menjadi agen perubahan, asalkan motivasinya benar dan prosesnya tidak instan. Seleksinya tetap ada di tangan orang-orang. Literasi politik jauh lebih baik. Orang-orang tidak hanya boros, tidak mudah terpikat oleh nama besar dan penampilan di layar. Itu bukan tentang memilih idola di acara realitas.
Masuknya selebriti ke dunia politik adalah bagian dari realitas di era keterbukaan informasi, disrupsi digital, dan kemajuan media sosial. Secara bersamaan, tanda-tanda ini menandakan politik yang pada dasarnya lebih terbuka, lebih cair, dan tidak zaman elit yang tunduk pada aturan eksklusif.
Siapa pun berpeluang berperan serta dan didengar siapa pun yang bukan berasal dari latar belakang politik termasuk selebriti yang telah memiliki massa basis dan mata rantai emosional dengan orang banyak. Namun, realitas demikian pun mengarah pada beberapa risiko yang serius.
Dalam konteks demokrasi yang bergantung pada pemilihan langsung, keberadaan massa ini sering kali tergantung pada citra, gaya yang secara ramah segera, dan penerimaan ide-ide revolusioner. Popularitas dapat menjadi aset inti dan kelemahan sekaligus. Ia dapat memperjuangkan seseorang dan memperadabkan orang itu ke papan atas, tetapi itu hanya berarti dia bekerja dengan etik atau profesional. Jelas, saya tidak bermaksud untuk menyerang semua selebriti. Banyak karya yang sangat serius, banyak yang memiliki ide, dan banyak yang Anda belajar.
Namun, itu dapat mengurangi peringatan bahwa banyak selebriti menggunakan sosok politik mereka sebagai bagian dari kariernya, sebagai sebuah peran baru, untuk mempertahankan eksistensi mereka, atau apakah itu bagian dari tugas, transaksi elite inti tentara. Tentu saja, orang publik perlu memahami bahwa ketika kita terus menarik perhatian orang, ini adalah tanda bahwa kita tidak bisa melemparkan dasar-dasar demokrasi.
Politik bukanlah pertanyaan siapa yang paling dikenal, melainkan siapa yang benar-benar memiliki tujuan lebih jauh. Ini bukanlah panggung pertunjukan, bagian dari hubungan kerja yang sangat bertanggung jawab. Sebaliknya, ketika lebih bagus ketika aktor telah memahami dan dipercaya untuk mewakili kekuasaan, itu adalah delusi. Dan pertanyaannya, jika tren ini berlangsung tanpa kritik dan penilaian dari sementara mungkin berdampak jangka panjang yang berbahaya; kepemimpinan tersebut, fungsi partai politik, masyarakat. Hal ini juga diwakili oleh warga negara, yang seharusnya menjadi suatu bahasa demokrasi untuk memahami konsumen politik.[]
Penulis :
Reyvika Meilani, Mahasiwa Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang