![]() |
Annatul Fadilah (Foto/dok. pribadi) |
“Berapa banyak luka yang harus diderita sebelum keadilan benar-benar ditegakkan?" Pertanyaan ini terus menggema setiap kali kabar tentang konflik di Papua mencuat ke publik. Tanah yang kaya akan sumber daya alam itu seolah menjadi saksi bisu atas pelanggaran hak asasi manusia yang terus berulang. Di balik janji pembangunan dan otonomi khusus, masih banyak suara yang dibungkam, dan hak-hak dasar yang diabaikan. Apakah kita masih bisa menutup mata terhadap penderitaan saudara kita di ujung timur Indonesia?
Latar Belakang Masalah
Papua, wilayah yang bergabung dengan Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, sejak awal menyisakan polemik dan ketegangan. Meskipun pemerintah mengklaim integrasi berjalan sesuai konstitusi, sebagian warga Papua memandang proses tersebut tidak adil dan dipaksakan. Ketidakpercayaan itu tumbuh subur di tengah ketimpangan pembangunan dan minimnya keterlibatan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan strategis.
Konflik antara aparat keamanan dan kelompok separatis bersenjata (Organisasi Papua Merdeka/TPNPB) pun menjadi alasan negara terus menempatkan Papua dalam pendekatan militeristik. Namun, yang sering kali menjadi korban bukanlah kelompok bersenjata, melainkan masyarakat sipil yang tidak bersalah.
Bentuk Pelanggaran HAM yang Terjadi Seperti Kelompok kriminal Bersenjata(KKB)
Kasus kriminal bersenjata yang melibatkan KKB Papua terus terjadi dengan berbagai insiden kekerasan serius, antara lain:
1. Pada 6 April 2025, KKB menyerang pendulang emas di Kabupaten Yahukimo, menewaskan 11 orang dan menyandera 2 lainnya. Serangan ini dipimpin oleh Elkius Kobak dan terjadi di lokasi-lokasi penambangan tradisional yang ilegal namun menjadi mata pencaharian warga
2. Pada 13-14 Mei 2025, operasi TNI menewaskan 18 anggota KKB di Distrik Sugapa dan Hitadipa, Intan Jaya. Dalam kontak tembak ini juga ditemukan korban tewas dari warga sipil termasuk kepala kampung setempat
3. Pada 15 Mei 2025, dua personel Brimob gugur akibat tembakan KKB di Kampung Usir, Distrik Mulia, Puncak Jaya.
4. Pada 27 April 2025, KKB menembak Ketua Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey, sebagai bentuk peringatan terhadap warga sipil yang dianggap bekerjasama dengan militer Indonesia
5. Penangkapan DPO KKB Iyoktogi Telenggen pada Februari 2025 terkait sejumlah aksi kriminal yang menewaskan puluhan korban jiwa di Yahukimo.
Penyebab terjadinya KKB Papua terutama berakar dari keinginan kelompok ini untuk melepaskan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga mereka dianggap sebagai gerakan separatis yang mengancam keutuhan negara. Selain motif separatisme, ada sejumlah faktor struktural yang memicu konflik, seperti ketidakpuasan masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat akibat ketimpangan ekonomi, akses terbatas terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, serta pelanggaran hak asasi manusia.
Sejarah panjang ketidakpuasan ini juga diperparah oleh kegagalan implementasi Otonomi Khusus Papua, di mana anggaran besar yang dialokasikan tidak sampai ke masyarakat luas, melainkan dinikmati oleh elite saja, sehingga menimbulkan kekecewaan dan perlawanan masif yang berujung pada tindakan kekerasan oleh KKB. Faktor eksternal, seperti dukungan dari pihak luar Papua yang mendukung gerakan separatis, juga turut memperkeruh situasi.
Respons Pemerintah dan Lembaga Terkait
Pemerintah Indonesia menanggapi kekerasan KKB Papua dengan tegas dan berkomitmen melindungi masyarakat serta menegakkan hukum. Pemerintah mengutuk keras aksi kekerasan yang menewaskan warga sipil, seperti insiden di Yahukimo yang menewaskan 12 pendulang emas, dan menegaskan tidak akan mentolerir tindakan keji tersebut. Pemerintah meningkatkan operasi keamanan melalui Satgas Operasi Damai Cartenz 2025 yang mendapat apresiasi tokoh Papua atas keberhasilan penegakan hukum terhadap KKB.
Selain pendekatan keamanan dan penegakan hukum, pemerintah juga menekankan pentingnya perlindungan HAM dan mendorong dialog serta pembangunan infrastruktur untuk mengatasi akar masalah sosial-ekonomi di Papua. Ada pula wacana pemberian amnesti sebagai bagian dari upaya solusi damai yang sedang dikaji secara hati-hati oleh pemerintah.
Perspektif Korban dan Masyarakat Papua
Bagi masyarakat Papua, rasa keadilan masih terasa jauh. Banyak dari mereka hidup dalam ketakutan, kehilangan keluarga, dan terasing dari tanah mereka sendiri. Dalam berbagai wawancara oleh media dan LSM, tokoh adat dan pemuda Papua menyampaikan keinginan untuk didengar dan diperlakukan setara sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Mereka tidak menolak pembangunan, tetapi menuntut keterlibatan aktif dan penghormatan terhadap hak asasi sebagai manusia.
Penting pula untuk memahami bahwa tidak semua masyarakat Papua mendukung separatisme. Banyak yang ingin tetap menjadi bagian dari Indonesia, tetapi menuntut keadilan, pengakuan, dan perlindungan hak-hak mereka.
Solusi dan Rekomendasi
Penyelesaian konflik di Papua tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan keamanan. Negara harus berani mengubah paradigma ke pendekatan yang lebih humanis dan berbasis pada hak asasi manusia. Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain: 1)Membuka ruang dialog yang jujur dan inklusif dengan tokoh masyarakat Papua; 2) Mendorong penyelesaian hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi secara transparan dan akuntabel; 3) Memberikan akses bebas kepada jurnalis dan pemantau independen ke wilayah Papua; 4) Mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat, terutama dalam pengelolaan tanah dan sumber daya alam; dan 5) Memperkuat peran pendidikan dan kesadaran HAM di Papua, khususnya di kalangan muda.
Kesimpulan
Papua adalah bagian sah dari Indonesia. Namun, menjadi bagian dari negara ini seharusnya bukan berarti hidup dalam ketakutan dan ketidakadilan. Negara punya tanggung jawab untuk memastikan setiap warga—dari Sabang sampai Merauke—diperlakukan setara, dihormati martabatnya, dan dilindungi hak asasinya. Penegakan HAM di Papua adalah ujian nyata bagi komitmen kita sebagai bangsa yang beradab. Jika kita terus diam, maka luka di Papua akan tetap terbuka—dan itu menjadi luka bagi kita semua.[]
Penulis :
Annatul Fadilah, Mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah Universitas Pamulang