![]() |
Siti Zamjiatullatifah (Foto/dok. pribadi) |
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) merupakan bagian penting dalam sistem ekonomi Islam yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab. LKS memiliki peran ganda, yaitu menyediakan layanan keuangan sekaligus menjadi representasi nilai-nilai syariah dalam praktik bisnis. Namun, seperti halnya organisasi lain, LKS tidak terlepas dari potensi konflik.
Konflik bisa terjadi di mana saja antara atasan dan bawahan, antar pegawai, bahkan antara lembaga dan nasabah. Jika dibiarkan tanpa penyelesaian yang tepat, konflik akan berdampak negatif terhadap kinerja, reputasi, dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga.
Manajemen konflik di lingkungan syariah menjadi unik karena tidak hanya mempertimbangkan aspek profesional, tetapi juga nilai-nilai moral dan spiritual. Dalam Islam, konflik harus diselesaikan dengan adil, musyawarah, dan penuh keikhlasan. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi manajemen konflik yang tidak hanya efektif, tetapi juga sesuai dengan ajaran Islam.
Konflik bukan hal yang tabu. Justru, dalam banyak kasus, konflik bisa menjadi pintu masuk untuk perbaikan. Masalahnya bukan pada konflik itu sendiri, tetapi pada cara kita menyikapinya. Di LKS, penyelesaian konflik harus mengedepankan keadilan dan ukhuwah (persaudaraan). Maka, penting untuk memahami strategi manajemen konflik yang tepat agar tidak hanya menyelesaikan masalah, tetapi juga memperkuat hubungan antarindividu dan tim.
Di berbagai LKS, konflik seringkali timbul dari hal-hal yang sederhana namun berdampak besar jika tidak ditangani. Misalnya, pembagian tugas yang tidak jelas, adanya pegawai yang merasa pendapatnya diabaikan, atau perbedaan interpretasi terhadap akad dan prosedur syariah. Tidak jarang pula ditemukan konflik antara pihak lembaga dan nasabah akibat ketidakjelasan informasi atau kurangnya komunikasi.
Salah satu contoh nyata adalah ketika terjadi perubahan dalam sistem pembiayaan tanpa adanya sosialisasi yang memadai. Hal ini membuat nasabah merasa tidak dihargai dan pegawai merasa bingung karena tidak dilibatkan dalam proses perubahan. Akibatnya, muncul ketegangan dan menurunnya kepercayaan terhadap manajemen.
Jika konflik seperti ini tidak segera diselesaikan, maka akan berdampak pada menurunnya produktivitas kerja, tingginya tingkat pergantian pegawai (turnover), serta hilangnya loyalitas nasabah.
Mengelola konflik bukan hanya tugas bagian SDM atau pimpinan semata. Seluruh elemen dalam LKS perlu menyadari pentingnya membangun budaya kerja yang terbuka dan komunikatif. Islam telah memberikan contoh bagaimana Rasulullah menyelesaikan konflik dengan hikmah, musyawarah, dan tanpa menyakiti salah satu pihak.
Mari kita mulai dengan langkah sederhana: mendengarkan dengan empati, membuka ruang dialog, dan mencari solusi bersama. Gunakan prinsip musyawarah (syura), sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an Surah Asy-Syura ayat 38, dan terapkan keadilan dalam menyelesaikan masalah tanpa pilih kasih. Setiap individu di dalam lembaga, baik pimpinan maupun staf, harus memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga suasana kerja yang harmonis.
Pelatihan manajemen konflik berbasis nilai-nilai syariah juga sangat dianjurkan agar pegawai lebih siap menghadapi perbedaan pendapat. Selain itu, membuat kebijakan penyelesaian konflik yang tertulis dan jelas juga dapat meminimalisir kesalahpahaman di masa depan.
Manajemen konflik di Lembaga Keuangan Syariah bukan hanya tentang menjaga stabilitas internal, tetapi juga mencerminkan kesungguhan lembaga dalam menegakkan nilai-nilai Islam. Ketika konflik ditangani dengan cara yang adil, terbuka, dan penuh hikmah, maka lembaga akan tumbuh menjadi tempat kerja yang sehat, produktif, dan berintegritas.
Sudah saatnya kita melihat konflik bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang untuk memperkuat kerja sama dan meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan strategi yang tepat dan niat yang lurus, konflik dapat menjadi sarana untuk menuju perubahan yang lebih baik, baik bagi lembaga maupun seluruh pihak yang terlibat di dalamnya.[]
Penulis :
Siti Zamjiatullatifah, mahasiswa Progam Studi Ekonomi Syariah Universitas Pamulang