Dalam sejarah pemikiran Islam, pendekatan bayani memegang peranan signifikan dalam membentuk dasar keilmuan serta praktik kehidupan beragama. Bayani adalah metode epistemologis yang berfokus pada teks-teks suci dan penalaran kebahasaan, menjadikannya sebagai alat utama dalam memahami wahyu. Meski demikian, pendekatan ini tidak lepas dari pengaruh budaya lokal, yang senantiasa berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat Muslim setempat.
Di Madura—yang dikenal dengan kekokohan tradisinya dan loyalitas tinggi terhadap agama—pendekatan bayani tidak hanya hidup dalam teori, tetapi juga menjadi bagian dari nalar sosial dan budaya masyarakat. Esai ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana bayani tidak hanya sebagai metode keilmuan, tetapi juga sebagai tradisi intelektual lokal yang mendalam.
Bayani dalam Epistemologi Islam
Dalam epistemologi Islam, terdapat tiga pendekatan utama: bayani (tekstual-linguistik), burhani (rasional-analitis), dan ‘irfani (intuisi spiritual). Bayani berfokus pada penafsiran teks wahyu, baik Al-Qur'an maupun Hadis, dengan mengandalkan otoritas ulama yang telah diakui keilmuannya. Dalam tradisi bayani, bahasa menjadi alat utama untuk memahami dan menyampaikan pengetahuan. Oleh karena itu, kajian terhadap struktur bahasa Arab, ilmu nahwu, balaghah, hingga fiqh, menjadi bagian integral dalam membangun pengetahuan yang sahih.
Metode bayani bukan semata-mata rasional atau empiris, melainkan normatif—berakar pada otoritas teks yang diinterpretasikan oleh mereka yang memiliki legitimasi keilmuan. Di banyak wilayah Muslim tradisional, termasuk Madura, pendekatan ini tetap menjadi arus utama, terutama dalam lembaga pesantren.
Kehidupan Intelektual di Madura
Madura dikenal tidak hanya karena karakter religius masyarakatnya, tetapi juga sebagai sumbangsih terhadap perkembangan Islam di Nusantara. Pesantren menjadi lembaga penting dalam penyebaran pendidikan agama, dengan kitab-kitab klasik (kitab kuning) sebagai bahan ajar utama. Kitab-kitab seperti Fath al-Qarib, Tafsir Jalalain, dan Syarh al-Taqrib merupakan sumber utama dalam kehidupan intelektual sehari-hari para santri.
Kiai, sebagai figur sentral dalam pesantren, berfungsi tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pembimbing moral dan spiritual bagi masyarakat. Ilmu yang diajarkan tidak hanya berasal dari bacaan semata, tetapi juga diwariskan secara turun-temurun, yang menggabungkan teks dan praktik hidup. Inilah ruang hidup bagi epistemologi bayani: ia lebih dari sekadar teori; ia merupakan sistem nilai yang juga berfungsi sebagai panduan hidup.
Interaksi Bayani dan Budaya Madura
Yang menarik dari Madura adalah bagaimana pendekatan bayani terintegrasi dalam struktur budaya masyarakatnya. Nilai-nilai seperti buppa’, bhabbhu’, guru, dan rato menggambarkan hierarki otoritas dalam kehidupan sosial: orang tua, guru (kiai), dan pemimpin memiliki posisi penting dalam menafsirkan dan menyampaikan kebenaran.
Masyarakat Madura sering kali merujuk kepada teks agama dan fatwa-fatwa kiai dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidup. Baik dalam urusan warisan, pernikahan, maupun konflik keluarga, masyarakat cenderung mencari referensi dari kitab fiqh atau pendapat kiai. Ini bukan sekadar bentuk religiusitas, tetapi juga menunjukkan bagaimana teks agama hidup dalam struktur sosial masyarakat.
Tradisi ini tercermin dalam etos kerja masyarakat Madura yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Bayani menjadi kerangka moral yang fleksibel, dapat disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan sosial dan budaya setempat.
Tantangan dari Modernitas
Meskipun bayani sudah mengakar dalam tradisi, ia menghadapi tantangan besar di tengah modernitas dan globalisasi pengetahuan. Masyarakat muda Madura yang semakin terpapar pada pendidikan tinggi, teknologi, dan informasi global mulai mempertanyakan otoritas tunggal teks dan menuntut pendekatan yang lebih rasional dan kontekstual.
Namun, hal ini tidak menghapuskan keberadaan bayani. Sebaliknya, kita menemukan sintesis yang menarik antara bayani dengan pendekatan burhani atau bahkan irfani. Kiai muda mulai mengadopsi metode interpretatif baru tanpa meninggalkan akar tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa bayani tidak statis, melainkan hidup dalam ruang dialog yang terus berkembang.[]
Penulis :
Dina Nor Maya Aisyah, Mahasiswa S1 Pendidikan Agama Islam STIT Al-Ibrohimy Bangkalan