![]() |
J Mila Melani (Foto/dok. Pribadi) |
Di tengah dunia yang penuh tuntutan, kecepatan, dan standar keberhasilan yang kadang tidak masuk akal, manusia sering kali kehilangan hak dasarnya untuk merasa. Kita diajarkan sejak kecil untuk tidak menangis, untuk selalu kuat, dan untuk menyembunyikan emosi. Emosi dianggap sebagai kelemahan, bukan kekuatan. Buku Terima Kasih Sudah Mengatakannya karya psikiater Korea Selatan Kim Yujin hadir sebagai sebuah pelukan hangat bagi siapa pun yang selama ini merasa harus menahan segalanya sendirian.
Buku ini bukan hanya tentang kesehatan mental, tetapi lebih jauh lagi, tentang keberanian untuk menjadi manusia seutuhnya manusia yang boleh merasa lelah, kecewa, takut, bahkan hancur. Dengan gaya bahasa yang sederhana namun penuh empati, Kim Yujin berhasil menghadirkan narasi yang menenangkan sekaligus menyadarkan: kita tidak sendirian, dan kita tidak harus menyelesaikan semuanya sendiri.
Salah satu kekuatan terbesar buku ini adalah keberaniannya untuk mengajak pembaca menerima diri apa adanya. Di dalam budaya yang kerap memuja produktivitas dan keberhasilan, banyak orang menekan perasaannya demi terlihat kuat. Kim Yujin mengajak kita untuk tidak terus-menerus menuntut diri menjadi sempurna. Ia menyampaikan bahwa menangis bukanlah tanda kegagalan, melainkan bentuk keberanian untuk jujur pada diri sendiri.
Kalimat-kalimat yang disampaikan dalam buku ini bukanlah kalimat motivasi yang memaksa kita untuk terus “positif thinking”. Sebaliknya, penulis menekankan bahwa tidak apa-apa merasa buruk, tidak apa-apa merasa lemah, dan tidak apa-apa tidak kuat setiap saat. Karena dengan mengakui apa yang kita rasakan, kita sedang membuka pintu menuju penyembuhan.
Selain berbicara tentang bagaimana kita bisa memahami diri sendiri, Kim Yujin juga mengajarkan pentingnya menjadi pendengar yang baik. Sering kali, ketika seseorang curhat, kita tergoda untuk langsung memberi nasihat, membandingkan, atau mengalihkan topik. Padahal, seringkali orang hanya ingin didengarkan, bukan diceramahi.
Buku ini mengingatkan kita bahwa kalimat “Terima kasih sudah mengatakannya” bisa menjadi obat bagi mereka yang sedang terluka. Dalam dunia yang cepat menilai dan lambat memahami, menjadi pendengar yang penuh empati adalah anugerah besar. Buku ini menjadi pengingat penting bahwa mendengarkan pun adalah bentuk kasih sayang.
Kim Yujin mengajak kita untuk mengubah sudut pandang tersebut. Ia ingin agar kita tidak mengabaikan rasa sakit sendiri maupun orang lain. Buku ini dapat menjadi awal dari perubahan cara pandang masyarakat terhadap kesehatan mental dari sesuatu yang dianggap tabu, menjadi bagian penting dari kehidupan manusia.
Sebagai mahasiswa dan bagian dari generasi muda, saya merasa buku ini adalah bacaan wajib di zaman yang serba digital dan penuh tekanan sosial. Kita hidup di era media sosial, di mana orang dituntut untuk selalu terlihat bahagia, sukses, dan baik-baik saja. Di balik foto-foto indah dan caption inspiratif, tak sedikit yang sebenarnya menyimpan luka yang dalam.
Buku ini mengajarkan bahwa tidak semua hal harus terlihat sempurna. Kita tidak harus selalu tampil kuat. Ada nilai yang sangat mendalam dalam menjadi manusia yang otentik dan tulus. Generasi muda, sebagai pemimpin masa depan, perlu memiliki empati dan keberanian untuk mengakui kerentanan. Karena dari sanalah lahir generasi yang lebih sehat secara mental dan emosional.
Lebih dari sekadar buku, Terima Kasih Sudah Mengatakannya adalah gerakan kecil yang bisa membawa perubahan besar. Bayangkan jika lebih banyak orang bisa mengungkapkan perasaannya tanpa takut dihakimi. Bayangkan jika kita semua bisa menjadi pendengar yang lebih sabar, lebih lembut, dan lebih penuh pengertian. Dunia akan menjadi tempat yang jauh lebih manusiawi.
Saya berharap buku ini bisa lebih dikenal luas di Indonesia, termasuk di kalangan pelajar, mahasiswa, guru, orang tua, hingga profesional. Kita semua memiliki peran dalam menciptakan ruang aman untuk saling mendengarkan dan memahami.
Terima Kasih Sudah Mengatakannya adalah buku yang mengajarkan bahwa menyuarakan perasaan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan. Ia membisikkan pada kita bahwa menjadi manusia adalah tentang menerima seluruh bagian diri, baik yang indah maupun yang rapuh. Di dunia yang kerap menuntut kesempurnaan, buku ini hadir sebagai pengingat lembut bahwa tidak apa-apa merasa tidak sempurna.
Bagi siapa pun yang sedang merasa sendirian, tertekan, atau kelelahan secara emosional, buku ini adalah teman yang tepat. Dan bagi siapa pun yang ingin menjadi pribadi yang lebih memahami orang lain, buku ini adalah pintu menuju empati yang lebih dalam.
Jadi, jika hari ini kamu merasa tidak baik-baik saja, ingatlah bahwa kamu berhak didengarkan. Dan jika ada seseorang yang membagikan perasaannya padamu, jangan buru-buru menilai. Cukup katakan, “Terima kasih sudah mengatakannya.”[]
Penulis :
J Mila Melani, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang