![]() |
| Foto/dok. pribadi |
Pertambangan merupakan satu diantaranya sektor strategis nasional yang memiliki peran vital dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Sektor tersebut dinilai mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan pekerjaan, dan meningkatkan pendapatan daera. Namun, diberbagai daerah termasuk Kabupaten Bangka aktivitas ekstraktif memicu persolaan serius terutama di kawasan yang bergantung tinggi pada sumber daya alam (SDA) dan lemahnya kapasitas tata kelola. Ironinya, bukannya meningkatnya kesejahteraan warga, hadirnya industri pertambangan di berbagai daerah memicu kerentanan sosial, konflik horizontal bahkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang melukai sendi-sendi demokrasi lokal.
Pertambangan timah di Bangka Belitung telah beraktivitas sejak masa Kesultanan Palembang lalu semakin masif pada zaman kolonial belanda (1771) dan berlanjut hingga hari ini. Pada era Belanda, aktivitas pertambangan timah semakin intensif seiring berdirinya perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan seperti Banka Tin Winning Bedrijf (BTW). Pasca Indonesia merdeka industri pertambangan timah dinasionalisasikan dan dikelola oleh pemerintah melalui PT Timah (Persero) Tbk.
Perjalanan waktu pengelolan timah pada mulanya secara sentralistik dan dianggap strategis oleh negara dan berubah pasca reformasi melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag) Nomor 146/1999 yang mencabut timah sebagai komoditas strategi. Berlakunya otonomi daerah peluang pertambangan rakyat semakin terbuka lebar. Bersamaan dengan hal tersebut Pemerintah Kabupaten Bangka melahirkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 20 Tahun 2001 yang mengesahkan tambang berskala kecil yang berujung pada tambang rakyat tumbuh pesat dan meluas sehingga sulit dikendalikan (Haryadi, 2025), terutama juga di Kelurahan Romodong, Kecamatan Belinyu.
Lebih lanjut, meningkatnya harga timah global dan liberasi ekonomi daerah mendorong ekspansi pertambangan semakin instensif, baik yang dilakukan oleh perusahaan formal muapaun jaringan tambang yang melibatkan banyak pihak seperti investor, broker, dan elit lokal. Namun, tingginya ketergantungan tersebut acapkali melahirkan kerentanan sosial karena masyarakat mengalami dilemana antara kebutuhan ekonomi jangka pendek belaka atau keberlanjutan ruang hidup.
Salah satu permasalahan mendasar adalah realita kondisi sosial dan pendidikan masyarakat setempat. Beberapa studi menunjukkan bahwa di kawasan pesisir dan pedesaan tingkat pendidikan acapkali berdampak langsung pada keterbatasan kemampuan warga dalam memahami risiko lingkungan, memahami regulasi, dan berpartisipasi secara efektif dalam pengambilan kebijakan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, peneliti mendapatkan informasi bahwa di Kelurahan Romodong mayoritas penduduknya adalah bekerja sebagai buruh harian lepas dengan rata-rata pendididikan hanya sebatas SMP/SMA. Bahkan, banyak warga lokal memilih putus sekolah lalu bekerja sebagai penambang.
Keterbatasan pendidikan berimplikasi nyata pada kapasitas politik masyarakat setempat. Menurut Dryzek (2000), demokrasi deliberatif terjadi ketika warga memiliki informasi, kemampuan analitis, dan ruang yang setara dalam berpendapat. Namun, dalam konteks Kelurahan Romodong rendahnya pendidikan warga membuat mereka tidak berdaya untuk menolak tambang, apalagi jika berhadapan dengan aktor yang memiliki kekuatan ekonomi dan jaringan politik. Hal tersebut membenarkan apa yang disampaikan Berenschot (2019) sebagai clientelistic governance, yakni dimana relasi patron-klien mendominasi proses politik dan mempersempit partisipasi warga.
Namun, di sisi lain bagi sebagian warga lokal tambang menjadi satu-satunya sumber pendapatan yang mudah diakses dan instan. Kurangnya sektor tradisional lainnya seperti perikanan dan perkebunan membuat tambang menjadi alternatif utama yang menghasilkan meskipun beresiko tinggi terhadap lingkungan dan kesehatan. Kondisi tersebut membentuk fargmentasi sosial antara yang pro tambang karena kepentingan ekonomi dan kontra karena implikasi daro tambang bagi lingkungan dan ruang hidup. Fragmentasi tersebut menunjukkan bahwa identitas lokal dan kondisi pendidikan mempengaruhi sikap politik masyarakat dalam tata kelola SDA.
Kacamata HAM dan konstitusi memandang kondisi tersebut dinilai kontrakdiksi. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam Pasal 28H menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas rasa aman, serta hak kemudahan dalam mengakses informasi. Namun, rendahnya pendidikan, literasi hukum, literasi politik, dan kapasitas organisasi masyarakat acapkali menghambat warga lokal dalm menuntut hak tersebut secara efektif (Komnas HAM, 2021). Implikasinya, ekspansi tambang di Kelurahan Romodong melahirkan kondisi apa yang sebt Carother (2002) sebagai democratic shrinking, yakni sebuah kondisi dimana ruang demokrasi menyempit karena dominasi kepentingan ekonomi.[]
Penulis :
Hijriyanto, Raihan Azaki, Aliyah & Elza Putri (mahasiswa Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung)
Editor : Yeddi Alaydrus


