Notification

×

Iklan

Iklan

Membangun Kesadaran Masyarakat Baturusa Bahwa IPR Bukan Sekedar Izin

Senin, 24 November 2025 | November 24, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-24T11:52:15Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Mayda Rindiany (Foto/dok. pribadi)

Pertambangan rakyat merupakan salah satu bentuk kegiatan ekonomi masyarakat yang memberikan penghidupan bagi banyak keluarga. Namun, dalam praktiknya, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui prosedur perizinan yang sah sesuai peraturan perundang-undangan. Kondisi ini menyebabkan sebagian kegiatan pertambangan dilakukan tanpa izin yang dapat berimplikasi hukum dan berdampak negatif terhadap lingkungan serta kesejahteraan masyarakat sendiri.

 

Kegiatan Sosialisasi Hukum Pertambangan ini merupakan bagian dari Team Based Project pada mata kuliah Hukum Pertambangan. Dalam pelaksanaan kegiatan ini, kami mendapatkan tema “Izin Pertambangan Rakyat (IPR)”, mengingat pentingnya pemahaman hukum bagi masyarakat terkait kegiatan pertambangan rakyat yang banyak dilakukan di berbagai wilayah, termasuk di Desa Baturusa.

 

Kegiatan pertambangan rakyat selama ini selalu menjadi dua sisi mata uang: di satu sisi memberikan sumber penghidupan bagi masyarakat, namun di sisi lain berpotensi menimbulkan masalah hukum dan kerusakan lingkungan bila dilakukan tanpa regulasi yang tepat. Realitas tersebut saya temukan secara langsung ketika mengikuti kegiatan sosialisasi Hukum Pertambangan dengan tema Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di Desa Baturusa. Banyak warga yang menggantungkan hidup pada tambang timah, tetapi sebagian besar masih belum memahami urgensi legalitas dalam menjalankan aktivitas tersebut.

 

IPR sering dianggap sekadar administrasi tambahan—beban waktu dan biaya yang harus ditempuh oleh penambang. Padahal, justru legalitas melalui IPR adalah bentuk perlindungan negara bagi para pekerja tambang. Dengan IPR, masyarakat tidak hanya terhindar dari risiko sanksi pidana atas kegiatan tambang ilegal, tetapi juga terlindungi ketika terjadi kecelakaan kerja, konflik lahan, atau kriminalisasi. Sosialisasi di Baturusa semakin menguatkan keyakinan bahwa ketidaktahuan hukum bukanlah karena masyarakat tidak peduli—melainkan karena informasi hukum masih jauh dari jangkauan masyarakat.

 

Namun ada satu fakta yang tak bisa diabaikan: masyarakat tidak akan serta-merta mengurus perizinan jika regulasi tidak dirasakan membawa manfaat langsung bagi mereka. Karena itu, pemerintah daerah serta pemangku kepentingan pertambangan perlu menghadirkan kebijakan IPR yang lebih aksesibel, transparan, dan mempermudah masyarakat, bukan sekadar mengatur dan menindak. Di sinilah pendidikan hukum kepada masyarakat menjadi penting. Pengabdian mahasiswa melalui sosialisasi bukanlah formalitas akademis, melainkan jembatan komunikasi antara hukum dan masyarakat.

 

Kesadaran hukum juga tidak boleh hanya berhenti pada aspek legalitas, tetapi harus berkembang menjadi kesadaran ekologis. Dalam diskusi bersama warga, tampak jelas bahwa sebagian besar penambang memahami risiko kerusakan lingkungan, namun tidak mengetahui bagaimana pertambangan legal dan berkelanjutan bisa diterapkan dalam konteks pertambangan rakyat. Artinya, regulasi IPR harus dibarengi dengan bimbingan teknis yang membantu masyarakat menerapkan praktik tambang yang aman dan ramah lingkungan. Tanpa itu, IPR hanya akan menjadi dokumen legal, tetapi tidak mengubah dampak ekologis yang terjadi di lapangan.

 

Melalui pengalaman sosialisasi ini, ada satu kesimpulan besar yang dapat ditarik: legalitas tidak akan efektif tanpa edukasi, dan edukasi hukum tidak akan berhasil tanpa empati terhadap kondisi sosial masyarakat. Negara membutuhkan masyarakat yang sadar hukum, tetapi masyarakat juga membutuhkan negara yang hadir memberi pemahaman, bukan hanya menuntut kepatuhan.

 

Kegiatan pertambangan rakyat sering kali menjadi perdebatan yang tak berkesudahan: antara kebutuhan ekonomi dan regulasi hukum, antara tuntutan penghidupan dan ancaman kerusakan lingkungan. Namun, ketika berbicara langsung dengan masyarakat di Desa Baturusa—sebuah wilayah yang bergantung pada penambangan timah.

 

Sabtu pagi, 1 November 2025, Kantor Desa Baturusa penuh oleh warga yang sebagian besar adalah penambang rakyat. Mereka duduk memenuhi ruangan, beberapa masih menggunakan pakaian kerja, bahkan ada yang datang tergesa setelah turun dari lokasi tambang. Sosialisasi dimulai dengan suasana hangat. Perangkat desa memberi sambutan singkat, lalu aktivitas inti dimulai: pemaparan mengenai Izin Pertambangan Rakyat (IPR)—istilah hukum yang masih terdengar asing bagi sebagian besar peserta.

 

Diskusi menjadi semakin hidup ketika sesi tanya jawab dibuka. Salah satu peserta bertanya, “Kalau kami ikut aturan, tapi izinnya susah keluar, bagaimana? Apa kami harus berhenti bekerja padahal hidup kami dari tambang?” Pertanyaan ini menggambarkan dilema yang selama ini tidak dijawab oleh kebijakan publik. Dari panggung pengabdian masyarakat tersebut, terlihat jelas bahwa persoalan pertambangan rakyat bukan hanya soal aturan—tetapi soal akses, keadilan, dan keberlanjutan ekonomi masyarakat.


Di sinilah urgensi IPR menemukan maknanya. IPR bukan hanya tentang legalitas, tetapi:

 perlindungan dari kriminalisasi ketika terjadi penindakan,

 kepastian hukum saat terjadi kecelakaan atau konflik lahan,

 jalur resmi untuk pengawasan lingkungan, bukan sekadar larangan.

 

Tanpa IPR, penambang rakyat berada pada posisi rentan: bekerja dalam ketidakpastian hukum, berhadapan dengan potensi penertiban kapan saja, dan menanggung risiko keselamatan tanpa proteksi. Ironisnya, justru mereka yang paling bergantung pada tambang sering kali menjadi kelompok yang paling jauh dari informasi hukum.

 

Sosialisasi hukum di Baturusa menunjukkan pola yang sama yang terjadi di banyak wilayah tambang rakyat di Indonesia: negara menginginkan masyarakat taat hukum, tetapi masyarakat membutuhkan negara untuk terlebih dahulu memberi pemahaman hukum. Pemerintah pusat maupun daerah perlu memastikan bahwa pengurusan IPR tidak menjadi penghalang bagi masyarakat kecil, melainkan pintu menuju praktik pertambangan yang legal, aman, dan ramah lingkungan.

 

Adapun tujuan dari kegiatan Sosialisasi Hukum Pertambangan dengan tema “Izin Pertambangan Rakyat (IPR)” ini adalah sebagai berikut:

a) Memberikan pemahaman hukum kepada masyarakat mengenai pentingnya memiliki Izin Pertambangan Rakyat (IPR) sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

b) Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, khususnya warga Desa Baturusa, terhadap dampak hukum dan lingkungan dari kegiatan pertambangan tanpa izin.

c) Membangun kemampuan mahasiswa dalam mengaplikasikan ilmu hukum pertambangan ke dalam kegiatan sosial edukatif di lapangan.

d) Mendorong masyarakat penambang rakyat untuk melakukan kegiatan pertambangan secara legal dan bertanggung jawab agar tidak melanggar hukum.

e) Menumbuhkan rasa kepedulian sosial dan tanggung jawab akademik mahasiswa hukum terhadap isu-isu aktual di sektor pertambangan daerah.

 

Sasaran kegiatan sosialisasi ini adalah masyarakat Desa Baturusa, khususnya warga yang berprofesi sebagai penambang rakyat. Hal ini karena sebagian besar masyarakat di wilayah tersebut menggantungkan hidup pada kegiatan pertambangan timah rakyat.


Melalui kegiatan ini, diharapkan masyarakat dapat memperoleh pemahaman yang jelas mengenai legalitas pertambangan rakyat, prosedur memperoleh izin, serta manfaat hukum dan lingkungan dari kegiatan pertambangan yang sah. Sosialisasi ini juga diharapkan dapat menjadi sarana edukasi agar masyarakat tidak terjerumus dalam praktik pertambangan ilegal yang dapat menimbulkan sanksi hukum maupun kerusakan alam di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka.

 

Demikian laporan kegiatan Sosialisasi Hukum Pertambangan dengan tema “Izin Pertambangan Rakyat (IPR)” ini kami susun sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan Team Based Project (TBP) pada mata kuliah Hukum Pertambangan yang diampu oleh Ibu Bunga Permatasari, S.H., M.H.[]

 

Penulis :

Mayda Rindiany, Mahasiswa Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung

×
Berita Terbaru Update