![]() |
| Eva Ramadhani (Foto/dok. pribadi) |
Di negeri yang kaya akan sumber daya alam ini, masih banyak anak bangsa yang kekurangan sumber daya pengetahuan. Di satu sisi, sekolah-sekolah di kota berdiri megah seperti istana ilmu dengan guru berprestasi, fasilitas digital, dan akses tanpa batas. Namun di sisi lain, di pelosok negeri, banyak anak menimba ilmu di ruang kelas yang bocor, dengan papan tulis yang lusuh dan buku yang sudah sobek di sudutnya. Seolah benar adanya peribahasa: "padi di kota menguning, padi di desa layu sebelum tumbuh."
Fenomena ketimpangan pendidikan ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cermin dari ketimpangan sosial yang nyata. Jika kita meniliknya melalui kacamata sosiologi, tiga teori besar memberi kita cara pandang yang berbeda namun semuanya bermuara pada satu hal: keadilan pendidikan masih jauh dari harapan.
Fungsionalisme: Ketika Roda Sosial Tidak Berputar Sempurna
Bagi penganut fungsionalisme seperti Durkheim, masyarakat ibarat tubuh manusia — setiap bagian punya peran agar tubuh tetap sehat. Pendidikan adalah jantung yang memompa nilai dan keterampilan ke seluruh lapisan sosial. Namun apa jadinya bila jantung ini hanya berdetak untuk sebagian tubuh? Maka, aliran kehidupan sosial akan tersumbat. Sekolah di kota dan di desa seharusnya saling menopang seperti dua sayap burung yang mengudara bersama. Namun kini, satu sayap mengepak kuat sementara yang lain rapuh. Akibatnya, bangsa ini terbang pincang menuju masa depan.
Teori Konflik: Pendidikan Menjadi Arena Pertarungan
Melalui kacamata Karl Marx, ketimpangan pendidikan adalah bentuk nyata dari pertarungan kelas. Sekolah bukan lagi sekadar tempat menuntut ilmu, tetapi menjadi arena reproduksi sosial di mana yang kaya makin berdaya, dan yang miskin makin terpinggirkan. Sekolah unggulan di kota bagaikan menara gading yang hanya bisa dipandang dari jauh oleh anak-anak desa. Mereka yang berada di bawah menatap ke atas, bukan karena kagum, tetapi karena terhalang untuk naik. Inilah ironi pendidikan kita yang seharusnya menjadi tangga mobilitas sosial, justru menjadi pagar yang memisahkan antara yang mampu dan yang tidak.
Interaksionisme Simbolik: Makna Kecil yang Menentukan Arah Besar
Namun ketimpangan tidak selalu lahir dari kebijakan besar kadang muncul dari hal-hal kecil dalam interaksi sehari-hari. Seorang guru yang tanpa sadar berkata “anak desa sulit bersaing”, atau siswa yang malu berbicara karena takut ditertawakan, bisa menanamkan luka yang dalam. Dalam teori interaksionisme simbolik, makna yang dibangun dalam interaksi sosial bisa menentukan arah hidup seseorang. Kata-kata guru, tatapan teman, atau lingkungan yang tidak mendukung dapat menjadi “cap tak terlihat” yang membuat anak kehilangan semangat belajar.
Saya melihat sendiri di beberapa desa, anak-anak lebih memilih membantu orang tua di kebun daripada pergi ke sekolah. Mereka merasa belajar tidak menjamin masa depan sebuah pandangan yang lahir dari pengalaman panjang melihat kakak-kakak mereka lulus tanpa pekerjaan. Bagaikan air yang berhenti mengalir, semangat belajar mereka perlahan mengering. Padahal, tanpa air pengetahuan, sawah masa depan mereka akan tandus.
Akibatnya pun nyata angka putus sekolah meningkat, generasi muda kehilangan daya saing, dan lingkaran kemiskinan terus berputar tanpa ujung. Kita tidak bisa menunggu waktu memperbaiki ketimpangan ini. “Setitik nila merusak susu sebelanga” sedikit ketimpangan bisa menghancurkan cita-cita besar bangsa.
Pendidikan adalah fondasi yang menopang segalanya. Jika pondasi ini retak, maka seluruh bangunan sosial akan goyah. Teori konflik mengingatkan kita bahwa membiarkan ketidakadilan berarti memperkuat struktur dominasi. Teori fungsionalisme menegaskan bahwa masyarakat hanya bisa stabil bila setiap warganya berfungsi secara seimbang. Dan interaksionisme simbolik mengajarkan, perubahan besar bisa dimulai dari sikap dan kata yang sederhana.
Dari kebijakan hingga hati nurani, solusi tidak hanya soal membangun sekolah baru, tetapi membangun kesetaraan makna dan peluang. Pemerintah perlu memeratakan kualitas guru, fasilitas, dan akses beasiswa. Di sisi lain, guru di desa juga perlu dibekali semangat baru menjadi lentera yang menyala walau di tengah gelap. Teknologi harus dimanfaatkan sebagai jembatan, bukan sekadar tontonan. Lebih dari itu, masyarakat perlu mengubah cara pandang. Pendidikan bukan beban, melainkan investasi masa depan. “Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar di waktu tua bagai menulis di atas air.”
Menyemai harapan yang sama. Ketimpangan pendidikan adalah luka sosial yang bisa disembuhkan asalkan kita mau bergotong-royong menumbuhkan harapan di setiap pelosok negeri. Pendidikan seharusnya seperti matahari, menyinari semua tanpa pandang tempat dan status. Ketika setiap anak, baik di kota maupun di desa, mendapat cahaya yang sama, maka Indonesia benar-benar akan menjadi taman ilmu, bukan ladang ketimpangan.[]
Penulis :
Eva Ramadhani, Mahasiswa Sosiologi Universitas Bangka Belitung


