![]() |
| Sumber foto : pexels |
TamiangNews.com - Ketika memperhatikan lingkungan sekitar, pernahkah kamu melihat orang yang terlihat bahagia, tertawa bersama temannya, mengerjakan tugas hariannya dengan semangat, dan seolah-olah tidak ada masalah dalam hidupnya? Mereka terlihat seolah-olah harinya berjalan baik-baik saja, dan itulah manusia yang disebut makhluk profesional. Manusia disebut makhluk profesional karena dilihat dari cara ia bersosialisasi, yang selaras dengan makna "Profesional" yang biasanya ada di dunia kerja. Dalam dunia kerja, profesional bukan hanya soal kemampuan dalam bidangnya, tetapi juga soal sikap dan etika kerja yang menunjukkan kedewasaan serta tanggung jawab terhadap pekerjaan. Begitupun dengan manusia yang menjalankan aktivitas hariannya dengan sikap dan etika yang menunjukkan kedewasaan serta tanggung jawab dalam kehidupannya.
Dalam menjaga sikap di dunia pekerjaan, sebagian manusia juga menjaga wajahnya di hadapan dunia. Dunia profesional diminta tidak mencampur emosi pribadi ke pekerjaan. Dalam kehidupan sosial, sebagian manusia menahan tangis, menyembunyikan luka, dan tetap tersenyum ketika bertemu orang lain. Bukan pura-pura, tapi ini adalah bentuk kemampuan dalam mengelola diri. Ia cerdas dalam memilih mana emosi yang pantas ditunjukkan dan mana yang harus disimpan untuk diselesaikan sendiri. Hal ini bisa kita lihat, seperti mereka yang tertawa bersama temannya, bercanda riang gembira, tetap hadir di kelas, dan berbagi energi positif, padahal di balik itu ada beban yang hanya dia sendiri yang tahu. Hal tersebut bukan kepalsuan, melainkan profesionalisme emosional.
Dalam dunia kerja, dunia profesional mengikuti kode etik, sedangkan dalam kehidupan sosial, sebagian manusia memahami etika keseharian. Manusia paham bahwa tidak selalu menceritakan masalah pribadinya dan tidak menumpahkan beban emosional ke sembarang orang. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kenyamanan sosial dan menjaga keharmonisan hubungan. Bukan karena mereka tidak punya masalah, tapi karena mereka tahu tidak semua luka harus diperlihatkan. Hal ini adalah bentuk kedewasaan sekaligus kemampuan manusia dalam menjaga tatanan sosial.
Selain itu, dalam dunia profesional memiliki yang namanya integritas. Integritas dalam konteks ini berarti tetap berjalan sesuai nilai, tidak menyerah pada tantangan, dan tidak lari dari tanggung jawab. Begitupun dengan manusia yang tetap menjalankan kehidupannya meski hidupnya berat. ia tetap sekolah meski sedang hancur, ia tetap bekerja meski di rumah kacau, ia tetap hidup meski bebannya berat. Manusia terus melangkah walaupun tidak ada yang menjamin bahwa besok akan lebih mudah. Itu adalah bentuk integritas yang dimiliki manusia.
Salah satu alasan mengapa manusia layak disebut makhluk yang profesional dapat dijelaskan melalui ajaran filsafat Stoisisme yang dibawa oleh Marcus Aurelius. Kaum Stoik meyakini bahwa penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan satu-satunya hal yang bisa kita kendalikan hanyalah cara kita merespon penderitaan, masalah atau tantangan tersebut. Dalam pandangan Stoik, manusia tidak seharusnya membiarkan emosi atau keadaan eksternal merusak ketenangan batinnya.
Dari sini, manusia yang terus berusaha menjalankan tanggung jawabnya di tengah kesedihan dan tekanan sejatinya sedang mempraktikkan sikap Stoik. Mereka mengelola gejolak batinnya, menata pikirannya, dan tetap bersikap sebagaimana mestinya. Sikap ini sama seperti dunia profesional yang tetap menyelesaikan tugasnya meski dalam kondisi sulit. Jadi, manusia dapat disebut makhluk profesional dalam kehidupan sosial ketika ia memiliki kemampuan dalam mengelola diri, menjaga kenyamanan sosial, menjaga keharmonisan hubungan, dan tetap menjalankan kehidupannya meskipun hidupnya berat penuh tantangan.(*)



