![]() |
| Farhan Hafidzu Rohman (Foto/dok. pribadi) |
Fatwa sebagai sebuah produk hukum keagamaan memiliki peranan penting dalam memberikan panduan bagi umat dalam menjalankan ajaran agama. Namun, tidak jarang fatwa justru menimbulkan kontroversi yang berdampak luas di masyarakat. Kasus nyata yang muncul menunjukkan bahwa fatwa, meski bertujuan baik, dapat memicu silang pendapat serta ketegangan sosial.
Pertama, fatwa yang dikeluarkan sering kali bersifat subjektif dan bergantung pada interpretasi ulama atau lembaga tertentu. Hal ini menimbulkan perbedaan pandangan di antara kelompok umat yang berbeda latar belakang pendidikan, budaya, dan pendekatan teologis. Contohnya, fatwa yang mengharamkan produk tertentu atau perilaku sosial tertentu sering kali mendapat penolakan dari sebagian masyarakat yang melihatnya sebagai pembatasan atau diskriminasi.
Kedua, penyebaran fatwa yang tidak diiringi dengan pendekatan komunikasi yang simpatik dan edukatif dapat memperdalam perpecahan sosial. Ketika fatwa disampaikan secara otoriter tanpa ruang dialog, kelompok masyarakat yang merasa dirugikan cenderung melakukan resistensi yang berujung pada konflik. Kasus fatwa yang menimbulkan demonstrasi dan protes sosial memperlihatkan bagaimana ketidaksiapan dalam pengelolaan fatwa berpotensi mengganggu ketertiban umum.
Ketiga, adanya perbedaan fatwa antar lembaga keagamaan menambah kompleksitas hukum agama di negara yang plural. Ketidakseragaman ini membuat masyarakat kebingungan menentukan mana yang harus diikuti. Dalam konteks negara hukum, fatwa perlu dijaga agar tetap harmonis dengan peraturan negara tanpa mengurangi nilai-nilai keagamaan.
Melihat hal tersebut, penting bagi otoritas agama untuk membangun mekanisme penetapan fatwa yang transparan dan inklusif. Proses fatwa harus melibatkan dialog lintas pemangku kepentingan agar hasilnya tidak hanya normatif tetapi juga aplikatif dan diterima oleh masyarakat secara luas. Pendidikan dan literasi agama yang memadai juga menjadi kunci agar fatwa mampu membimbing umat tanpa menimbulkan konflik.
Dengan pendekatan yang bijak dan terbuka, fatwa dapat kembali berfungsi sebagai pedoman yang menguatkan keberagaman dan menjaga keharmonisan sosial, alih-alih menjadi sumber kontroversi yang melemahkan persatuan.
Kasus-kasus nyata di Indonesia dan negara lain memperlihatkan bagaimana fatwa dapat memicu perdebatan keras hingga ketegangan di masyarakat. Salah satu contoh nyata adalah fatwa tentang penggunaan teknologi baru yang bertentangan dengan interpretasi sebagian ulama tertentu. Misalnya, fatwa yang mengharamkan penggunaan produk-produk berbasis teknologi seperti aplikasi dompet digital pada awal kemunculannya. Fatwa ini sempat menuai kritik kuat dari kalangan milenial dan pelaku industri digital yang melihatnya sebagai hambatan kemajuan ekonomi. Kontroversi ini menjadi perhatian publik karena fatwa tersebut dianggap terlalu kaku dan berpotensi menghambat inovasi.
Selain itu, perbedaan fatwa antara lembaga keagamaan yang memiliki otoritas berbeda sering menimbulkan kebingungan umat. Misalnya, di Indonesia, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bisa berbeda dengan fatwa ormas Islam lain yang memiliki perspektif berlainan. Ketidakharmonisan ini tidak jarang memunculkan polarisasi dan ketidakpastian hukum agama di tengah masyarakat yang plural dan majemuk.
Untuk itu, sangat penting mengembangkan mekanisme fatwa yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan zaman. Proses penetapan fatwa perlu melibatkan berbagai unsur, mulai dari ulama, akademisi, tokoh masyarakat, hingga perwakilan dari komunitas yang terdampak. Dialog dan konsultasi publik harus menjadi bagian dari prosedur untuk mendapatkan fatwa yang tidak hanya valid secara teologis, namun juga relevan dan diterima secara sosial.[]
Penulis :
Farhan Hafidzu Rohman, Mahasiswa Ekonomi Syariah, Universitas Pamulang, email : : farhanhafidzu@gmail.com


