Notification

×

Iklan

Iklan

Dispensasi Kawin: Menyoal Kepentingan Terbaik Anak di Antara Tuntutan Hukum, Budaya dan Perkembangan

Minggu, 19 Mei 2024 | Mei 19, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-05-19T08:15:23Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Dwi Lestari (Foto : IST)

Perkawinan merupakan institusi yang kompleks, melibatkan berbagai aspek seperti hukum, budaya, dan perkembangan individu. Namun, ketika perkawinan melibatkan anak di bawah usia, timbul pertanyaan tentang kepentingan terbaik anak. Dispensasi kawin, yang merupakan pengecualian dari aturan umum perkawinan, sering menjadi sorotan dalam konteks ini. Dispensasi kawin di Indonesia, terutama di Pengadilan Agama, semakin relevan karena jumlah permohonan dispensasi kawin meningkat dari waktu ke waktu.


Dispensasi kawin adalah proses di mana pengadilan memberikan izin untuk kawin kepada calon suami/isteri yang belum mencapai usia 19 tahun. Ini merupakan pengecualian dari persyaratan umum perkawinan yang menetapkan bahwa perkawinan hanya boleh dilakukan jika kedua belah pihak sudah berusia 19 tahun. Dispensasi kawin menjadi penting karena melibatkan pertimbangan kepentingan terbaik anak, dengan memperhitungkan aspek perlindungan, pengasuhan, kesejahteraan, serta kelangsungan hidup dan perkembangan anak.


Hasil penelitian Muhamad Hasan Sebyar menunjukkan beberapa faktor penyebab meningkatnya permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama. Salah satunya adalah kehamilan di luar nikah, yang sering menjadi pemicu dari permohonan dispensasi kawin. Faktor ekonomi juga memainkan peran penting, di mana tingkat kemiskinan dapat mendorong individu untuk menikah sebagai solusi, meskipun usia mereka sebenarnya belum cukup matang untuk mengemban tanggung jawab perkawinan.


Dalam ranah hukum, UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memberikan dasar hukum terkait permohonan dispensasi kawin. Pasal 7 ayat (2) UU tersebut memberikan wewenang kepada orang tua calon pengantin pria dan/atau wanita untuk meminta dispensasi kawin ke Pengadilan dalam keadaan yang mendesak, asalkan disertai dengan bukti yang memadai.


Namun, saat meninjau kasus dispensasi kawin, Hakim bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kepentingan terbaik anak tetap menjadi fokus utama. Hakim harus memberikan nasihat terlebih dahulu kepada para pihak terkait mengenai risiko-risiko yang mungkin timbul akibat perkawinan seperti gangguan pendidikan anak, dampak kesehatan reproduksi, dan potensi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Selain itu, Hakim juga diwajibkan mendengarkan pendapat anak saat menguji kasus dispensasi kawin, sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU Perkawinan yang mengamanatkan bahwa Pengadilan harus mendengarkan keterangan dari kedua calon pengantin.


Dari segi budaya, faktor-faktor sosio-kultural juga memiliki pengaruh dalam permohonan dispensasi kawin. Ahmad Tholabi Kharlie menyoroti bahwa kematangan usia adalah hasil dari berbagai aspek seperti fisik, ekonomi, sosial, mental, agama, dan budaya. Hal ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan konteks budaya dalam mengevaluasi permohonan dispensasi kawin agar keputusan yang diambil dapat mencerminkan kepentingan terbaik anak secara menyeluruh.


Dengan memperhitungkan faktor-faktor sosio-kultural seperti nilai-nilai budaya, norma-norma sosial, dan keyakinan agama, Pengadilan dapat membuat keputusan yang lebih komprehensif dan sesuai dengan realitas sosial masyarakat. Memahami kompleksitas budaya dalam proses penilaian dispensasi kawin dapat membantu memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan anak secara menyeluruh. Oleh karena itu, pertimbangan terhadap konteks budaya menjadi sangat penting dalam penanganan kasus dispensasi kawin untuk memastikan perlindungan dan kepentingan terbaik anak terpenuhi.


Untuk mengurangi angka perkawinan anak dan meningkatkan perlindungan terhadap anak, para peneliti merekomendasikan beberapa langkah yang dapat diambil. Salah satunya adalah melibatkan berbagai pihak seperti psikolog, tenaga medis, pekerja sosial, dan lembaga perlindungan anak dalam proses pemeriksaan kasus dispensasi kawin. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada pertimbangan menyeluruh terhadap kepentingan terbaik anak.


Dalam hal pertumbuhan anak, penting untuk memahami bahwa anak-anak yang terlibat dalam permohonan dispensasi kawin seringkali menghadapi tantangan yang kompleks. Faktor-faktor seperti rangsangan seksual dini, kebutuhan akan kasih sayang, dan tekanan budaya dapat memengaruhi keputusan mereka mengenai perkawinan. Oleh karena itu, pendekatan yang menyeluruh dan berfokus pada kepentingan terbaik anak sangat penting dalam menangani kasus dispensasi kawin. Ini melibatkan pertimbangan terhadap aspek-aspek fisik, psikologis, sosial, dan budaya yang memengaruhi anak dalam membuat keputusan tentang pernikahan. Dengan pendekatan yang komprehensif, Pengadilan dapat memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak hanya memenuhi kebutuhan dan melindungi anak, tetapi juga menghormati hak-hak dan kesejahteraan mereka secara menyeluruh.


Secara keseluruhan, isu dispensasi kawin merupakan masalah yang rumit dan melibatkan berbagai aspek yang saling terkait. Dalam mencari solusi terbaik, penting bagi kita semua untuk selalu memprioritaskan kepentingan anak sebagai yang utama. Sebagai masyarakat yang beradab, kita harus menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak-anak kita, termasuk dengan memberikan perlindungan maksimal bagi mereka yang terlibat dalam kasus dispensasi kawin. Dengan berhati-hati dan bijaksana, kita dapat memastikan bahwa generasi penerus bangsa ini dapat tumbuh dengan sehat, bahagia, dan dilindungi dari eksploitasi dan perlakuan tidak pantas. Hanya dengan cara ini, masa depan mereka dapat terjamin, dan kita dapat berharap pada kelangsungan peradaban bangsa yang lebih baik.[]


Pengirim :

Dwi Lestari, Mahasiswa Hukum Universitas Bangka Belitung, Email : dwiilestari35@gmail.com

×
Berita Terbaru Update