Notification

×

Iklan

Iklan

Ketika Demokrasi Hanya Milik Orang Dalam

Minggu, 06 Juli 2025 | Juli 06, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-06T07:12:43Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Foto/Ilustrasi

Permasalahan yang terjadi pada bangsa saat ini hakikatnya bermula dari kesemrawutan sistem negara yang keliru. Dimana Indonesia mencampuradukkan sistem demokrasi prensidensial dan parlementer serta membaurkan antara paham otoriter dengan prinsip-prinsip demokrasi.

 

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Bung Karno dalam pidatonya telah menyerukan perlunya revisi UUD yang baru saja disahkan. Akan tetapi sampai empat kali amandemennya tidak diawali dengan pembenahan platfrom dari sistem Orde Baru yang otoriter menjadi demokrasi.

 

Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi melalui ungkapan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Ungkapan tersebut menegaskan bahwa rakyat memegang peran penting dalam pemerintahan. Kehidupan demokrasi dalam masyarakat mendukung terwujudnya kehidupan yang nyaman. Demokrasi memainkan peran penting dalam peradaban manusia, merubah tatanan lama negara dari monarki, kekaisaran, menuju sistem pemerintahan yang berpijak pada kehendak rakyat, kedaulatan diri, dan hidup berdampingan secara damai. Jadi, inti dari demokrasi adalah konsep rakyat memilih pemerintahan melalui pemilihan umum yang teratur, bebas, dan adil.

 

Dalam realitasnya, demokrasi berjalan sebagai formalitas saja. Yang lebih memprihatinkan, hal ini tidak hanya terjadi pada panggung besar seperti pemilihan preseden saja, praktik serupa juga menjalar hingga di ruang kecil seperti kampus.

 

Baru-baru ini, kampus kami menggelar pemilihan presiden mahasiswa beserta dengan jajaran kepengurusannya. Kami, sebagai tim sukses KPUM, tentu mendukung penuh proses demokrasi ini. Namun, muncul keganjilan dalam benak kami. Di tengah semangat demokrasi yang digaungkan, tampak jelas menguat satu teori yang pernah disampaikan dosen kami, yaitu primordialisme.

 

Pemilihan ini menunjukkan kecenderungan berpihak hanya pada satu pasangan calon saja, entah karena berada dalam satu lingkar pertemanan (circle), kedekatan kelompok sosial tertentu, atau bahkan calon lainnya dianggap sebagai “musuh”.

 

Faktanya, dari dukungan satu angkatan saja sudah tampak keberpihakan yang mencolok, spanduk, poster, hingga slogan-slogan yang tersebar di berbagai sudut kampus hanya menyuarakan satu pasangan calon, padahal kedua calon tersebut berasal dari angkatan yang sama. Demokrasi semacam ini membuat saya berpikir: apakah kita benar-benar hidup dalam sistem demokrasi, atau hanya menjadikannya sebagai motif tambahan saja?.

 

Apakah pihak atasan telah memainkan hasil suara, membangun kecurangan, atau bahkan dengan terang-terangan melakukan praktik jual beli suara?.

 

Dalam buku Pilpres Abal-Abal Republik Amburadul, disorot bagaimana sistem turunan Orde Baru berupaya mempertahankan kekuasaan. Selama kepemimpinan bangsa masih dijalankan oleh figur “itu lagi itu lagi”, sangat sulit berharap Indonesia bisa bangkit menuju kesejahteraan yang hakiki.

 

Kami sebagai mahasiswa junior, juga menemukan kejanggalan dalam proses pemilihan presiden tersebut. Salah satu tangan kanan pimpinan kampus menjapri kami secara pribadi, meminta agar kami mengarahkan “rakyat” dari angkatan kami untuk mendukung pasangan calon dari pihak mereka. Bahkan, pesan itu disampaikan dengan embel-embel, “Obrolan ini hanya antara kita, tidak boleh sampai menyebar.” Yang lebih mengkhawatirkan, utusan tersebut mengaku akan mencalonkan diri sebagai bagian dari jajaran presma. Hal ini menandakan bahwa salah satu taktik yang digunakan dalam memenangkan pasangan calon adalah lewat jalur orang dalam dan relasi kekuasaan.

 

Fenomena ini tidak dapat dianggap remeh. Demokrasi kampus merupakan miniatur dari demokrasi bangsa. Jika pada lingkup kampus saja sudah sarat dengan kecurangan, maka masa depan demokrasi kita berada dalam ancaman. Apabila praktik semacam ini terus menjadi kebiasaan, bukan tidak mungkin demokrasi kampus akan mengalami kerusakan sistemik. Lebih jauh lagi, hal ini dapat memengaruhi cara berpikir mahasiswa sebagai generasi calon pemimpin bangsa. Praktik semacam ini mencerminkan bahwa dalam negara ini masih tersisa warisan budaya ala Orde Baru.

 

Sebagai mahasiswa, kita tidak boleh tinggal diam melihat praktik demokrasi yang menyimpang terus-menerus terjadi. Kampus seharusnya menjadi ruang yang mendidik civitas akademika untuk menjunjung tinggi kejujuran, integritas, dan tanggung jawab dalam setiap proses demokratis. Demokrasi yang sehat tidak akan tumbuh dari praktik kecurangan, tekanan, dan manipulasi. Ia hanya akan hidup jika dijalankan secara adil, jujur, dan terbuka.

 

Sudah saatnya kita mengembalikan marwah demokrasi di lingkungan kampus. Pemilihan presiden mahasiswa dan lembaga-lembaga kemahasiswaan harus kembali menjadi ruang belajar politik yang bersih, bukan ajang adu kuasa atau dominasi kelompok tertentu. Kita membutuhkan keberanian kolektif untuk berkata “cukup” pada praktik-praktik yang mencederai suara mahasiswa.

 

Demokrasi bukan sekadar prosedur pemilihan, melainkan juga soal nilai dan cara berpikir. Jika kita gagal membangun demokrasi yang sehat di kampus ruang yang seharusnya paling terbuka terhadap ide dan perbedaan, maka bagaimana kita bisa berharap banyak pada demokrasi bangsa di luar sana?

 

Karena itu, menjaga demokrasi kampus berarti menjaga masa depan demokrasi Indonesia.[]

 

Penulis :

Dina Kamaliya Istighfari, mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir STAI Al-Anwar Sarang Rembang

×
Berita Terbaru Update