Notification

×

Iklan

Iklan

Tinjauan Partisipasi Masyarakat Desa Batu Beriga dalam Tata Kelola Pembangunan PLTN

Senin, 17 November 2025 | November 17, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-17T14:03:21Z
abati parfum | Parfum Arab Terbaik

Hijriyanto, Revana dan Aliyah (Foto/dok.pribadi)

Kebutuhan energi nasional mengalami peningkatan seiring pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi menuntuk negara agar menemukan sumber energi alternatif yang berkelanjutan, efesien, dan ramah lingkungan. Ketergantungan dengan bahan bakar fosil semakin tidak relavan dalam konteks krisis energi global dan komitmen akan agenda pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGS). Dalam kerangka tersebut Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dinilai menjadi saru diantaranya solusi strategis dalam memenuhi kebutuhan energi Indonesia jangka panjang. Pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memposisikan pembangunan PLTN menjadi bagian dari Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Hal tersebut menekankan pentingnya diversifikasi energi dan ketahanan energi nasional.

 

Namun, pembangunan PLTN semata-mata bukan tentang isu teknologis dan ekonomi, melainkan juga tentang isu sosial, politik, dan lingkungan. Dalam pengaplikasiannya, baik dari perencanaan, sosialisasi hungga pembangunan fisik berpotensi memicu ketegangan antara berbagai aktor dengan kepentingan dibaliknya. Dalam hal ini, Desa Batu Beriga, Kabupaten Bangka Tengah menjadi satu diantaranya yang ditetapkan sebagai calon lokasi pembangunan. Dewasa ini, desa tersebut menjadi ruang sosial yang menunjukkan kontestasi berbagai kepentingan dengan realitas sosial dan ekologis lokal. Masyarakat lokal mengalami posisi ambivalen antara menerima peluang ekonomi yang menjanjikan dan kekhawatiran terhadap dampak sosial dan lingkungan yang terjadi.

 

Berbicara tentang dinamika politik lokal, di Desa Batu Beriga tidak bisa dilepaskan dari relasi kekuasaan yang ada, baik antara pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan investor. Pemerintah pusat berorientasi pada kepentingan mikro, yakni untuk mewujudkan ketahanan energi nasional dan efesiensi industri. Sedangkan pemerintah daerah berada di persimpangan dengan dua pilihan, yakni berupa menjalankan mandat dari atas dan menampung aspirasi rakyat. Di dimensi lain, masyarakat lokal memiliki kepentingan yang konkrit, seperti perlindungan terhadap ruang hidup, akses terhadap sumber daya, dan keberlanjutan ekonomi. Interasi antar berbagai kepentungan tersebut memicu arena politik lokal yang penuh dengan negosiasi, resistensi, dan kompromi. Dimana keputusan pembangunan acapkali terjadi tarik menarik antara kebijakan nasional dan konteks lokal.

 

Kacamata teori politik pembangunan dan tata kelola publik, partisipasi masyarakat menjadi indikator utama dalam menilai keberhasilan sebuah kebijakan yang dilahirkan. Menurut Arnstein (1969) dalam Ladder of Citizen Participation, partisipasi semata-mata bukan keterlibatan formal dan forum konsultasi, melainkan mencerminkan pemberdayaan masyarakat untuk memperngaruhi proses dan hasil kebijakan. Partisipasi yang subtantif menjadi cermin dari demokrasi deliberatf, yakni dimana warga memiliki akses yang setara dalam berdialog, mempertimbangkan argumen, dan bekontribusi dalam pengambilan keputusan. Dalam kontkes pembangunan PLTN, idealnya partisipasi masyarakat tidak hanya dimaknai sebagai prosedur administratif, melainkan sebagai bentuk pengakuan terhadap hak warga dalam menentukan arah pembangunan di wilayah setempat.

 

Realitanya, partisipasi masyarakat dalam proyek strategis nasional acapkali hany bersifat simbolik belaka. Forum konsultasi publik hanya menjadi sarana legitimasi formal tanpa adanya ruang deliberasi. Berbagai hambatan seperti halnya keterbatasan akses informasi, rendahnya literasi kebijakan energi, dominasi elit politik, dan ketimpangan nilai tawar antara warga dengan institusi negara. Dalam situasi tersebut, partisipasi masyarakat cenderung menjadi alat legitimasi pembangunan , bukan instumen kontrol sosial terhadap kebiijakan.

 

Kondisi di Desa Batu Beriga menggambarkan kompleksitas tersebut. Dimana masyarakat dibenturkan dengan narasi modernisasi dan pembangunan yang dikontruksi oleh institusi negara dan investor. Sementara itu, masyarakat bergulat dengan keterbatasan informasi, ancaman dampak lingkungan, dan sempitnya ruang partisipasi. Idealnya pemerintah darah menjadi mediator, namun terjebak dalam kondisi antara kepentingan energi nasional dan tekanan sosial di tingkat lokal. Implikasinya, terjadinya proses tata kelola pembangunan yang berjalan secara top-down dan berpotensi timbulnya ketengan sosial dan krisis legitimasi kebijakan.

 

Kajian ini menegaskan bahwa tingkat partisipasi masyarakat Desa Batu Beriga dalam rencana pembangunan PLTN masih tergolong rendah dan hanya bersifat formalitas. Keterlibatan masyarakat selama ini hanya terbatas pada kegiatan sosialisasi yang bersifat satu arah, tanpa adanya ruang dialog atau kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan secara langsung.

 

Sebagian besar masyarakat, khususnya nelayan yang telah penulis wawancarai, menunjukkan sikap penolakan terhadap pembangunan PLTN. Penolakan tersebut dilatarbelakangi oleh kekhawatiran akan rusaknya ekosistem laut yang menjadi sumber utama mata pencarian mereka. Rendahnya tingkat transparansi informasi dan kurangnya peran aktif pemerintah desa dalam menyalurkan aspirasi masyarakat turut memperkuat sikap tersebut.

 

Meskipun terdapat potensi manfaat ekonomi jangka pendek seperti pembukaan lapangan pekerjaan sementara, masyarakat menilai bahwa risiko sosial, ekonomi, dan ekologis yang ditimbulkan lebih besar. Oleh sebab itu, keberhasilan pembangunan PLTN di Desa Batu Beriga sangat bergantung pada sejauh mana prosesnya dilakukan secara partisipatif, transparan, dan memperhatikan kesejahteraan masyarakat lokal sebagai prioritas utama.[]

 

Penulis :

Hijriyanto, Revana dan Aliyah (mahasiswa Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung)

×
Berita Terbaru Update