Iftitah Ratna Anjani
Anak perempuan pertama dalam sebuah keluarga sering kali dianggap sebagai sosok yang kuat, mandiri, dan mampu menjadi teladan bagi adik-adiknya. Namun, di balik citra ketangguhan itu, tersimpan luka emosional yang jarang terlihat dan kerap luput dari perhatian.
Fenomena ini dikenal dengan istilah Eldest Daughter Syndrome ialah sebuah kondisi psikologis di mana anak perempuan sulung memikul beban tanggung jawab dan ekspektasi yang sangat besar, sehingga berdampak pada kesehatan mentalnya.
Sebagai anak pertama, khususnya perempuan, mereka sering kali menjadi "orang tua ketiga" dalam keluarga. Orang tua menaruh harapan tinggi agar mereka menjadi contoh yang baik, bertanggung jawab, dan mampu mengasuh adik-adiknya dengan sempurna.
Tuntutan ini membuat anak perempuan pertama harus menjalankan peran yang jauh melampaui usianya, sehingga mereka harus dewasa lebih cepat dibandingkan anak-anak seusianya.
Beban ini tidak hanya berupa tugas fisik seperti mengurus rumah atau membantu orang tua, tetapi juga beban emosional yang berat. Anak perempuan sulung sering merasa harus selalu kuat dan mandiri, bahkan ketika mereka sendiri sedang mengalami kesulitan.
Mereka kerap menekan perasaan lelah, sedih, atau kecewa demi menjaga citra sebagai pilar keluarga. Akibatnya, mereka sulit untuk mengungkapkan perasaan dan cenderung memendam luka batin yang mendalam.
Salah satu dampak psikologis yang paling nyata dari Eldest Daughter Syndrome adalah perfeksionisme berlebihan. Anak perempuan pertama merasa harus selalu sempurna dalam segala hal, baik akademik, perilaku, maupun peran sosialnya.
Tekanan ini membuat mereka mudah stres, cemas, dan merasa tidak pernah cukup baik. Ketika harapan yang dibebankan terlalu tinggi dan sulit dicapai, muncul rasa kecewa dan rendah diri yang berpotensi menimbulkan gangguan mental seperti depresi.
Selain itu, mereka juga sering mengalami kesulitan dalam mengenali identitas diri. Karena terlalu terikat dengan peran sebagai anak sulung yang bertanggung jawab, mereka sulit menemukan jati diri di luar ekspektasi keluarga.
Hal ini membuat mereka bingung menentukan tujuan hidup pribadi yang sebenarnya dan merasa terjebak dalam peran yang bukan sepenuhnya mereka pilih.
Tidak jarang anak perempuan pertama merasa kurang mendapat dukungan emosional. Mereka terbiasa mengutamakan kebutuhan orang lain dan menekan keinginan pribadi demi kebahagiaan keluarga.
Namun, ketika menghadapi masalah, mereka merasa sendirian karena enggan atau tidak terbiasa meminta bantuan. Pola ini dapat memperparah stres dan isolasi diri, yang pada akhirnya memperburuk kondisi kesehatan mental mereka.
Dalam beberapa kasus, perasaan harus selalu bertanggung jawab dan menjadi "penyelesai masalah" keluarga membuat anak perempuan sulung mengalami kelelahan emosional atau burnout.
Mereka merasa terjebak dalam siklus tanpa akhir, di mana mereka harus selalu siap sedia untuk keluarga, tanpa kesempatan untuk beristirahat atau memprioritaskan diri sendiri. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan kecemasan dan depresi yang serius jika tidak segera ditangani.
Komunikasi terbuka menjadi kunci penting dalam membantu anak perempuan pertama menghadapi beban ini. Anak sulung perlu didorong untuk mengungkapkan perasaan dan batasan mereka secara asertif kepada keluarga.
Dengan demikian, mereka bisa mendapatkan pengertian dan dukungan yang selama ini mungkin sulit mereka raih. Selain itu, mencari dukungan dari luar keluarga, seperti teman dekat atau profesional psikolog, juga bisa memberikan ruang aman untuk melepas tekanan dan mendapatkan perspektif baru.
Selain itu, keluarga dapat membagi tanggung jawab secara lebih adil agar anak perempuan pertama tidak merasa terbebani sendirian. Adik-adik juga perlu dilibatkan dalam berbagai tugas rumah tangga dan pengasuhan agar peran tidak hanya jatuh pada anak sulung. Hal ini tidak hanya meringankan beban, tetapi juga mengajarkan nilai kebersamaan dan kerja sama dalam keluarga.
Di zaman sekarang, sangat penting untuk menghilangkan anggapan bahwa anak perempuan pertama selalu harus tampil sebagai sosok yang sempurna dan tangguh.
Menyadari serta mengakui rasa sakit yang mereka alami menjadi langkah awal untuk memberikan fokus lebih pada kesehatan mental mereka. Dengan dukungan yang sesuai, anak perempuan sulung dapat berkembang menjadi individu yang emosional sehat, mandiri, dan bahagia tanpa harus mengabaikan kebahagiaan dan kesejahteraan pribadi mereka.
Di balik ketahanan anak perempuan pertama terdapat luka yang tidak terlihat yang perlu diperhatikan dengan serius. Beban tanggung jawab yang berlebihan dan harapan yang tinggi dapat menyebabkan tekanan psikologis yang berdampak negatif pada kesehatan mental mereka.
Oleh karena itu, baik keluarga maupun masyarakat harus berperan aktif dalam memberikan dukungan, pemahaman, dan kesempatan bagi anak perempuan sulung untuk tumbuh secara optimal tanpa kehilangan identitas diri mereka.[]
Penulis :
Iftitah Ratna Anjani, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, No HP : 0812-9164-4324