![]() |
Foto/ILUSTRASI |
Kemajuan teknologi digital telah merevolusi cara kita menjalani aktivitas sehari-hari, terutama dalam bidang ekonomi. Saat ini, kita bisa membeli kebutuhan harian, memesan makanan, hingga mengikuti kelas atau seminar cukup melalui perangkat digital, tanpa harus keluar rumah. Dunia terasa semakin kecil, dan segalanya menjadi lebih praktis dan cepat.
Namun, di balik semua kemudahan tersebut, ada satu hal penting yang perlahan mulai hilang yaitu interaksi langsung antar manusia. Pasar tradisional, warung, dan pusat perbelanjaan semakin sepi pengunjung. Tak sedikit pengusaha yang memilih menutup toko fisiknya karena sudah merasa cukup mengandalkan media sosial, marketplace, atau aplikasi digital untuk menjalankan usaha.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar. Apakah kita benar-benar siap hidup dalam sistem ekonomi serba digital tanpa keberadaan ruang interaksi fisik seperti pasar atau toko? Lalu, bagaimana pergeseran ini mempengaruhi kehidupan sosial kita?
"Teknologi mendekatkan yang jauh, tetapi pada saat bersamaan berpotensi menjauhkan yang dekat." Dikutip dari Kompasiana.com (2025), “terjadi penurunan interaksi sosial. Pasar tradisional yang dulunya bukan sekadar tempat jual beli, tapi juga ruang publik. Dengan berpindahnya aktivitas ke ranah digital, hubungan antar‑individu menjadi lebih individualis dan minim interaksi.
”Tak bisa dimungkiri, wirausaha digital memiliki banyak kelebihan. Hemat waktu, mudahnya transaksi, serta luasnya jangkauan pasar menjadi alasan kuat mengapa banyak pelaku usaha beralih ke platform online. Apalagi sejak pandemi COVID-19, bisnis-bisnis yang mampu bertransformasi digital justru berhasil bertahan.
CNN (2021) mencatat bahwa “adopsi konsumen digital di Asia Pasifik yang sebelumnya diperkirakan terjadi dalam lima tahun, justru sudah melampaui proyeksi 2025 hanya dalam 12 bulan.” Hal ini menunjukkan betapa cepatnya digitalisasi mengubah pola ekonomi.
Tetapi, jika proses digitalisasi ini terus berjalan tanpa arah yang jelas dan batasan, kita bisa terjebak dalam era baru keterasingan. Toko bukan sekadar tempat jual-beli, tetapi juga tempat bersosialisasi. Di sana orang saling bertemu, menawar harga, berbagi cerita, bahkan sekadar saling menyapa. Semua itu menumbuhkan rasa kebersamaan dan keberadaan dalam komunitas.
Jika toko fisik hilang dan segalanya beralih ke digital, manusia bisa semakin terkurung dalam ruang pribadinya. Ia menjadi konsumen yang sepi, penjual yang tak tampak, serta anggota masyarakat yang tak lagi mengenal tetangga di sekitarnya. Inilah sisi gelap dari ekonomi tanpa toko.
Fenomena ini bukan hanya memengaruhi pola konsumsi masyarakat, tetapi juga mengubah struktur sosial. Banyak riset menunjukkan bahwa isolasi sosial dan rasa kesepian meningkat, terutama pada kalangan muda dan lanjut usia. Dikutip dari kompasiana.com (2024) menegaskan, “ketergantungan pada teknologi mengakibatkan individu menjadi terisolasi secara sosial karena lebih memilih berinteraksi dengan perangkat mereka daripada berkomunikasi secara langsung dengan orang lain.”
Ironisnya, di tengah era digital yang katanya menghubungkan semua orang, justru banyak dari kita merasa terputus secara emosional. Selain itu, percepatan digitalisasi yang tidak merata berisiko memperlebar kesenjangan. Tidak semua kalangan punya akses internet memadai atau kemampuan teknologi yang cukup. Masyarakat pedesaan, lansia, dan pelaku UMKM bisa jadi pihak yang tertinggal dan tersingkir dari perputaran ekonomi.
Model bisnis digital juga menimbulkan persoalan dalam membangun kepercayaan dan keberlanjutan ekonomi lokal. Saat berbelanja di toko fisik, konsumen bisa melihat produk secara langsung, berbincang dengan penjual, dan membangun relasi jangka panjang. Sebaliknya, dalam dunia digital, semuanya bergantung pada rating, ulasan, atau iklan. Hal ini membuat adanya jarak emosional antara penjual dan pembeli.
Toko-toko kecil yang dulunya menopang ekonomi komunitas kini harus menghadapi persaingan berat dengan perusahaan-perusahaan besar berbasis teknologi yang punya modal kuat dan sistem canggih. Seperti diungkap Kompasiana (2025), omzet pedagang pasar tradisional di beberapa kota turun hingga 50% akibat konsumen beralih ke belanja online.
Meski tantangannya besar, masih ada peluang untuk menata kembali arah digitalisasi agar tetap mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
1. Mendorong Konsep Phygital (Physical + Digital)
Alih-alih meniadakan toko fisik sepenuhnya, bisnis bisa menggabungkan layanan digital dengan pengalaman offline. Misalnya, pembelian online dengan opsi pengambilan barang di toko, atau melihat langsung produk setelah memilih di katalog digital.
2. Pelatihan Literasi Digital Inklusif
Penting untuk mengadakan pelatihan digital yang menjangkau semua kalangan, termasuk UMKM, warga lanjut usia, dan masyarakat pinggiran agar mereka mampu beradaptasi dengan perubahan.
Beberapa langkah ini membutuhkan dukungan serta kesadaran bersama. Hambatan utama yang dihadapi adalah dominasi perusahaan teknologi besar yang menguasai data, distribusi, dan pengaturan algoritma. Tanpa adanya regulasi yang seimbang, pelaku usaha kecil akan kesulitan memperoleh ruang yang layak.
Selain itu, pola konsumsi masyarakat yang sudah terbiasa dengan layanan digital yang serba cepat juga menjadi tantangan tersendiri. Oleh karena itu, penting untuk mengedukasi masyarakat agar menjadi konsumen digital yang cerdas, yang tetap menjunjung tinggi nilai sosial dan etika dalam bertransaksi.
Ekonomi tanpa toko memang mulai menjadi realitas, tetapi bukan berarti kita harus kehilangan ruang sosial untuk berinteraksi. Dalam arus digitalisasi yang deras, kita harus ingat bahwa interaksi manusia tetap menjadi fondasi penting dalam membangun kepercayaan, kebersamaan, dan kualitas hidup. Masa depan bukan soal memilih antara dunia digital atau fisik, melainkan bagaimana kita memadukan keduanya secara seimbang dan bijak. Sebab pada akhirnya, manusia tetap membutuhkan sesamanya sesuatu yang tidak dapat digantikan aplikasi.[]
Penulis :
Zahra Filqia Ananta, mahasiswi Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung