![]() |
Foto/Ilustrasi |
Patriaki merupakan sebuah sistem sosial yang menjadikan laki-laki sebagai pemegang kendali utama dalam lingkaran sosial, sistem ini sudah menjadi hal yang lazim di kalangan masyarakat. Dampakdari hal itu sering sekali tidak terlihat khususnya bagi perempuan.
Di balik rutinitas yang dianggap “wajar” atau “sesuai kodrat” patriaki bergerak dengan halus namun tanpa dirasa banyak menimbulkan kerugian, membatasi ruang gerak, potensi dan hak-hak fundamental perempuan.
Lebih parahnya lagi, hal ini terkadang berasal dari dalih-dalih yang sakral, seperti tafsiran budaya, tradisi turun-temurun, atau bahkan penafsiran agama yang menjadikan patriaki seolah sesuatu yang menjadikan gender menjadi sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat.
Dalam konteks inilah, Nawal El Saadawi muncul sebagai suara lantang yang tidak kenal takut. Sebagai seorang dokter, feminis, dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang terkemuka di Mesir, El Saadawi mendedisakin hidupnya untuk mensuarakan penindasan pada perempuan.
Salah satu karyanya yang paling relavan dan berpengaruh dalam hal ini adalah “Perempuan dalam Budaya Patriaki”. Dalam buku ini El sadawi bukan hanya menggambarkan realitas pahit yang dialami perempuan dalam sistem budaya patriaki, tetapi juga menganalisis akar permasalahan budaya ini dengan tajam dan kritis.
Menurut Nawal El Saadawi, patriaki bukan hanya sekadar dominasi laki-laki secara sederhana, melainkan sebuah sistem penindasan yang menyeluruh dan kompleks.
Menurutnya patriaki adalah struktur kekuasaan yang tertanam dalam setiap aspek masyarakat, baik itu politik, ekonomi, sosial, budaya, ataupun ranah pribadi.
Budaya ini secara tidak langsung memposisikan perempuan pada tempat yang lebih rendah, dan sering kali disamarkan dengan alasan-alasan yang di atas namakan sebagai norma atau keharusan.
El Saadawi menyoroti dengan tajam berbagai manifestasi spesifik patriaki yang seringkali terabaikan atau dianggap lumrah.
Salah satu bentuk penindasan paling mengerikan diungkapkan El Saadawi adalah kontrol ekstrim atas tubuh perempuan. Yang juga pernah dialami oleh ia sendiri dimana praktik sunat pada perempuan (FGM) merupakan hal yang lazim pada masanya, yang mengatasnamakan tradisi sebagai tirai dibalik kekerasan fisik yang brutal.
Praktik ini juga berlatarkan sebagai upaya untuk mengendalikan seksualitas perempuan, untuk emastikan kesucian dan menjamin kepatuhan. Selain itu, El Saadawi juga membahas obsesi masyarakat mesir pada masa itu terhadap keperawanan perempuan sebagai simbol kehormatan keluarga, serta bagaimana tubuh perempuan seringkali dianggap sebagai objek reproduksi atau pemuas nafsu, bukan sebagai subjek yang berhak atas otonominya sendiri.
Patriaki juga membuat ruang gerak perempuan menjadi sangat terbatas. Perempuan dipaksa untuk tetap berada dalam ranah domestik, dengan dalih bahwa tugas merek hanyalah mengurus rumah tangga dan membesarkan anak.
Hal ini menyababkan perempuan tidak bisa memperluas diri dalam mengakses pendidikan tinggi, perempuan juga merasa bahwa cita-cita hingga sampai pada profesi yang mereka inginkan adalah hal yang langka bagi mereka.
Akibatnya batasan ini secara efektif mematikan potensi perempuan dan menjadikan mereka bergantung pada laki-laki.
El Sadawi juga mengungkapkan bagaimana sistem patriaki merusak mental perempuan dan menormalisasikan kekerasan seksual atau penindasan emosional.
Lebih jauh lagi patriaki bisa menciptakan lingkungan di mana kekerasan seksual dianggap tabu untuk penjadi perbncangan atau disalahkan pada korban, serta menjustifikasi penindasan emosional sebagai hierarki dalam hubungan.
El Saadawi dengan gigih dan berani mengkritik dalih-dalih yang sering digunakan untuk empertahankan sistem tersebut. Ia menolak keras narasi yang menormalisasikan penindasan perempuan dengan argumen-argumen yang seolah-olah tak terbantahkan.
Salah satu fokus El Saadawi adalah bagaimana pemahaman agama yang sering di salah gunakan atau ditafsirkan secara patriarkal untuk menjustifikasi ketidaksetaraan gender.
El Saadawi menunjukan bagaimana ajaran-ajaran agama tertentu di belokan dari konteks aslinya atau dilebih-lebihkan untuk membenarkan ketidaksetaraan perempuan, kontrol atas tubuh mereka, atau pembatasan peran mereka di masyarakat.
Ia juga mengkritik bagaimana tradisi dan adat istiadat yang merugikan perempuan seringkali dianggap sakral dan tak boleh dipertanyakan, seperti pernikahan dini, pembatasan hak waris, atau norma yang mengharuskan perempuan untuk selalu patuh yang sebenarnya hal itu bukan lah ajaran agama murni, melainkan kontruksi sosial budaya yang telah diwariskan turun-temurun.
El Saadawi berargumen bahwa klaim tradisi ini adalah untuk menjustifikasi ketidaksetaraan dan mempertahankan tatanan patriarkal yang telah mapan, sehingga menghambat kemajuan bagi perempuan.
Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan adalah bagian integral dari HAM universal, yang menegaskan bahwa setiap individu yang lahir, tanpa memandang gender, memiliki hak-hak dasar atas martabat, kebebasan, kesetaraan, dan seamanan yang sama dengan laki-laki.
Dalam bukunya, El Saadawi menuliskan dengan keras kejadian-kejadian yang melanggar HAM perempuan untuk hidup bebas dari penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat.
Contohnya seperti tradisi sunat perempuan (FGM), dibaik tirai tradisi disana menyebabkan penderitaan fisik dan psikologis seumur hidupnya.
El Saadawi juga manggarisbawahi bgaimana norma-norma patriarkal sering meremehkan kemampuan perempun dalam kepemimpinan, budaya ini menciptakan hambatan bagi mereka untuk bersuara, dan membatasi akses mereka ke posisi yang berpengaruh.
Kemudian dalam Hak atas kesehatan dan Refroduksi El Saadawi mengaitka kontrol terhadap tubuh dan keputusan reproduksi perempuan oleh sistem patriaki dengan pelanggaran hak kesehatan.
Ini bisa berupa kurangnya akses informasi kesehatan yang komprehersif, tekanan untuk melahirkan banyak anak, atau pembatasan hak perempuan untuk membuat keputusan sendiri mengenai tubuh dan kesehatan refroduksi mereka.
Institusi sosial, hukum, atau bahkan medis, dalam beberapa kasus, dapat secara tidak langsung atau langsung melakukan pelanggaran HAM ini di bawah payung patriaki. Sistem-sistem ini sering kali terlihat netral namun pada kenyataannya merugikan perempuan.
Pemikiran El Saadawi memiliki implikasi yang sangat besar bagi advokasi HakAsasi Manusia (HAM) perempuan. Meskipun ditulis beberapa dekade lalu, suara El Saadawi tetap sangat relavan di masa kini, terutama dalam menghadapi tantangan patriaki yang terus berevolusi, meskipun dalam bentuk yang berbeda tetapi masih memiliki esensi yang sama.
Oleh karena itu, pesan kritis yang dapat diambil adalah pentingnya membongkar patriarki di segala lini kehidupan mulai dari ranah personal hingga institusional untuk mewujudkan HAM yang seutuhnya bagi semua perempuan. Kesetaraan sejati hanya akan tercapai jika akar-akar penindasan patriarki dicabut dan digantikan dengan nilai-nilai keadilan dan martabat universal.[]
Penulis :
Ai Naul Mardiyyaj, Mahasiswa STAI Al-Anwar Sarang Rembang